REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Pandemi Covid-19 yang melanda wilayah Kabupaten Semarang telah mengakibatkan sebagian pengusaha angkutan darat (khususnya angkutan penumpang umum) di daerah tersebut gulung tikar. Berdasarkan data yang dicatat oleh DPC Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Semarang, dari seribu armada angkutan umum yang sebelumnya ada, kini hanya menyisakan tak lebih dari 600-an armada angkutan umum.
Artinya, selama pandemi Covid-19 di Kabupaten Semarang, sedikitnya sudah ada 400-an lebih armada angkutan umum yang terpaksa harus dijual. Karena para pengusaha dan awak angkutan penumpang umum terus merugi.
Dari pada menanggung beban biaya operasional yang semakin tidak terjangkau, sebagian pengusaha angkutan umum yang ada di wilayah di Kabupaten Semarang memilih menjual armada angkutannya. “Karena penumpang tidak ada dan pendapatan awak angkutan penumpang semakin menurun selama pandemi,” ungkap Ketua DPC Organda Kabupaten Semarang, Hadi Musrofa, usai menerima secara simbolis bantuan sosial gorong royong untuk awak angkutan umum dan kelompok mesyarakat disabilitas di, kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Semarang, Ahad (15/8).
Menurutnya, akibat pendemi Covid-19 di Kabupaten Semarang telah menjadikan awak dan penguaha angkutan umum di daerah tersebut terus menglami keterpurukan, terlebih dengan adanya pengetatan pembatasan mobilitas masyarakat.
Ia meyebut, untuk saat ini kondisi awak angkutan penumpang di Kabupaten Semarang pada umumnya cukup memprihatinkan, tak terkecuali para pengusaha angkutan penumpang dan angkutan pariwisata. Misalnya angkutan jenis Prona (trayek Ungaran- Ambarawa/ Ungaran- Salatiga dan lainnya), kondisi para awaknya sudah sangat memprihatinkan. Sebelum pandemi, setoran angkutan yang diterima pengusaha bisa mencapai Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu per hari.
Namun selama pandemi Covid-19 berlangsung, untuk memenuhi setoran Rp 120 ribu per hari saja sudah semakin sulit. Demikian halnya untuk angkutan kota (angkot) yang semula setorannya Rp 120 ribu, sekarang paling- paling hanya bisa setoran Rp 35 ribu per hari sudah bagus.
Kalau sudah begitu, awak angkutan tidak mendapat duit (pendapatan), demikian halnya dengan pengusaha pemilik angkutan umum jelasnya. Akhirnya, lebih dari 30 persen pengusaha angkutan umum sudah menjual armadanya.
“Pengusaha yang armadanya masih berstatus kendaraan kredit, pasti tidak mampu membayar cicilan dan terpaksa harus menjual dari pada menanggung kewajiban yang memberatkan,” tegas Mustofa.