Ahad 15 Aug 2021 12:19 WIB
Hari Kemerdekaan Indonesia

Mencetak Generasi Muda Pintar nan Alim Seperti Agus Salim

Keluasan ilmu Agus Salim membuat tokoh nasional sampai dunia terperangah.

Cara Haji Agus Salim mendidik anak-anaknya bisa ditiru orang tua yang ingin memiliki putra putri yang pintar nan alim.
Foto:

Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika

Tidak hanya guru, para orang tua rasanya perlu sering menceritakan kisah hidup para tokoh-tokoh bangsa tersebut sebagai contoh nyata keteladanan. Dari Ki Hajar Dewantara kita bisa belajar tentang kecerdasan budi pekerti yang mengantar seseorang pada kemerdekaan batin.

Tiga konsep Ki Hajar Dewantara yang diajarkan adalah berdiri sendiri, tidak tergantung kepada orang lain, dan dapat menguasai diri. Ketiga konsep itu menjadi alasan Ki Hajar Dewantara menilai dasar pendidikan model Barat atau penjajahan Belanda yakni regering, tucht, orde (perintah, hukuman, dan ketertiban), tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia.

Cara itu dinilai Ki Hajar Dewantara sebagai praktik perkosaan atas kehidupan batin anak-anak, sehingga membuat rusaknya budi pekerti karena selalu hidup di bawah paksaan. Cara mendidik seperti itu tidak akan mampu membentuk seseorang hingga memiliki “kepribadian” yang berbudi pekerti.

Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara yang abadi, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung), hingga kini menjadi pegangan dunia pendidikan Indonesia.

Atau anak muda bisa belajar dari transfer ilmu seorang HOS Tjokroaminoto. Tangan dinginnya melahirkan begitu banyak tokoh bangsa. Pemikirannya melahirkan dinamika di berbagai bidang. Soekarno, Kartosuwiryo, dan Semaun adalah salah tiga muridnya. Tak heran Agus Salim yang awalnya adalah "mata-mata" yang dikirim Belanda untuk mengintai pergerakan "Raja Jawa Tanpa Mahkota" itu, malah kepincut dengan kehidupan Tjokroaminoto. Agus Salim yang awalnya dirental Belanda, malah berbalik melawan.

Agus Salim bahkan "meniru" konsep pendidikan yang diterapkan Tjokroaminoto kepada para murid-muridnya. Agus Salim mendidik anak-anaknya sendiri di rumah tanpa pernah mengirimkan ke sekolah formal. Alasannya karena dia tidak percaya sekolah di zaman kolonial mampu memberikan pendidikan yang paling dibutuhkan. Istilah zaman sekarang homescholing.

Namun jangan dibayangkan cara Agus Salim mendidik anak-anaknya seperti orang tua yang terpaksa membantu pekerjaan sekolah anaknya yang belajar daring di masa pandemi, model pendidikan Agus Salim kepada anak-anaknya menyenangkan. Ia mentrasfer ilmu pengetahuan sembari bermain atau ketika sedang makan. Konsep ini bisa dijiplak para orang tua sekarang.

Pendidikan ala Agus Salim di rumah tidak hanya mengejar agar anak menjadi pintar, tetapi juga memperhatikan pertumbuhan jiwa mereka. Anak-anak Agus Salim dididik tidak dengan terkekang peraturan dan kehendak orang tua semata. Karena itu Agus Salim tidak memberikan kualifikasi seperti “kamu nakal” atau “kamu jahat” kepada anak-anaknya.

Rasa-rasanya sudah bukan rahasia lagi banyak orang tua yang saat ini mengurung anaknya dalam penjara bernama "kehendak". Anak dipaksa mengikuti kehendak orang tua di berbagai bidang, termasuk pendidikan yang kerap membuat anak menjadi "terpaksa belajar".

Tidak sedikit orang tua yang beranggapan sekolah menjadi tempat penitipan anak. Dengan mengirimkan anak ke sekolah, para orang tua beranggapan sudah menyerahkan tanggungjawab masa depan dan mendidik anak mereka kepada sekolah dan guru. Padahal, madrasah utama adalah rumah.

Ketika nilai rapor saya jeblok karena terlalu banyak main, ibu saya yang seorang guru malu. Apalagi beberapa guru saya adalah teman beliau. Tetapi ibu tidak marah, apalagi bapak. Alih-alih mendesak dan memaksa saya belajar terus menerus agar tidak tinggal kelas, bapak hanya berpesan, "Yang penting tidak lagi ada nilai merah."

Sayangnya saat ini banyak orang tua yang memaksa anaknya menelan segala bidang ilmu. Padahal, tanpa dikunyah, barangkali anak-anak akan kenyang akan ilmu, tetapi sulit mencerna, dan sialnya tidak bisa mengecap rasa nikmatnya. Namun jangan juga kita yang sudah menjadi orang tua menjadikan anak busung lapar pengetahuan.

Pendidikan adalah salah satu hak segala bangsa. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, hak setiap anak. Sehingga memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak adalah kewajiban para orang tua kandung dan juga negara.

Orang tua perlu mengetahui peran mendidik anak bukan hanya ada di pundak guru dan sekolah. Anak sebagai peniru ulung perlu diberikan contoh nyata secara visualisasi tentang semua hal tentang kebaikan. Orang tua ideologis memang memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak, tetapi orang tua biologis memikul tanggung jawab sebagai seorang pendidik, tak hanya di rumah tetapi di segala bidang kehidupan.

Formula pendidikan karakter yang menjadi program prioritas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim bisa sempurna jika mengikuti jejak para founding father. Nadiem menekankan yang terpenting adalah pendidikan karakter. Sekarang yang sedang terjadi dengan besarnya peran teknologi, kalau pemuda tidak punya karakter, integritas, analisa informasi dengan kuat, maka akan tergerus dengan berbagai macam informasi yang tidak benar. Alasan itu yang membuat Nadiem menjadikan program pendidikan karakter menjadi prioritas. Pendidikan karakter, ada yang sifatnya kognitif, ada yang sifatnya moral atau akhlak.

Kita harus akui, keberhasilan program itu tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun kita bisa memanfaatkan bonus demografi yang akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dengan tujuan menyongsong generasi Indonesia emas pada tahun 2045. Cita-cita yang menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Prof Nizam bisa tercapai dengan berinvestasi di dunia pendidikan.

Pemerintah pun sudah menyiapkan langkah-langkah strategis. Selain menggenjok pendidikan karakter, pemerintah menyediakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah untuk siswa lulusan SMA yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi tapi terhalang masalah biaya. Tujuannya agar Indonesia tidak kehilangan calon-calon SDM unggul yang terhenti pendidikannya karena masalah biaya.

"Pendidikan itu penting jika Indonesia ingin jadi negara maju. Hanya saja, tantangannya masih cukup berat," kata Nizam. Ada beberapa tantangan nasional yang akan dihadapi Indonesia. Antara lain demokratisasi dan transformasi sosial, kesenjangan, kemiskinan, hingga ketergantungan produk impor.

Jika kita para generasi muda, para orang tua, para guru, para pemangku kepentingan, pemerintah, ulama, dan seluruh elemen bangsa itu mampu menang melawan tantang-tantangan tersebut, Indonesia akan memiliki banyak pemimpin bangsa yang tidak hanya cakap dalam pendidikan, cerdas dalam berdiplomasi, ulung dalam berpolitik, tetapi juga jujur ketika dititipkan jabatan dan harta kekayaan negeri.

Sehingga nantinya cita-cita para founding father agar Indonesia menjadi negara yang makmur dan berdiri di kaki sendir, bisa tercapai. Semoga juga Indonesia seperti terminologi Alquran: Baldatun thoyyibatun wa robbun ghafuur, yaitu negara dengan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah subhanahu wa ta'ala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement