Sabtu 14 Aug 2021 03:25 WIB

BKN Ajukan Keberatan Atas Laporan Ombudsman soal TWK KPK

Pada 21 Juli 2021 Ombudsman RI meminta agar BKN melakukan dua tindakan korektif.

Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Supranawa Yusuf.
Foto: Dok BKN
Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Supranawa Yusuf.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengajukan keberatan terhadap Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Republik Indonesia. Terutama, mengenai maladministrasi dalam pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan sebagai proses alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Dalam kesimpulan ORI juga menyinggung hal-hal lain baik mulai proses pelaksanaan sampai kesimpulan dan singgungannya menurut kami kurang tepat, karena itu kami BKN menggunakan hak untuk menyampaikan keberatan atas pernyataan Ombudsman RI pada kesimpulan LAHP," kata Wakil Kepala BKN Supranawa Yusuf dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat (13/8).

Pada 21 Juli 2021, Ombudsman RI meminta agar BKN melakukan dua tindakan korektif yaitu agar BKN menelaah aturan dan menyusun peta jalan berupa mekanisme, instrumen dan penyiapan asesor terhadap pengalihan status pegawai menjadi ASN. Selain itu Ombudsman juga berkesimpulan bahwa BKN telah terjadi maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur yaitu dalam 4 hal. 

Pertama, Kepala BKN menghadiri langsung rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM pada 26 Januari 2021. Kedua, BKN tidak kompeten melakukan asesmen TWK,ketigamaladministrasi dalam kontrak swakelola antara KPK dan BKN, serta keempat Kepala BKN telah melakukan pengabaian terhadap amanat Presiden Jokowi.

"BKN sudah memberikan tanggapan dan per hari ini sudah dikirim ke Ombudsman RI, surat ditandatangani Kepala BKN dan ditujukan kepada Ketua Ombudsman RI tertanggal 13 Agustus," ungkap Supranawa.

Keberatan itu diajukan dengan berdasarkan pasal 25 ayat 6b Peraturan Ombudsman RI No 48 tahun 2020 tentang Tata Cara Penerimaan Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan. "Isi surat pada dasarnya ada dua hal yaitu pertama menyangkut tindakan korektif yaitu mengenai pembuatan telaahan aturan. BKN sebenarnya sudah memiliki rencana strategis (renstra) untuk 2020-2024 yang substansinya sudah mencantumkan program penguatan hukum dalam perumusan perundangan di bidang kepegawaian," tambah Supranawa.

Selanjutnya, mengenai pembentukan regulasi baru menyangkut proses mutasi, promosi, penilaian kompetensi menurut dia juga sudah termuat dalam renstra 2020-2024 tersebut. "Kita bisa berterus terang ada atau tidak adanya tindakan korektif yang disampaikan oleh sesungguhnya BKN sudah punya program-program tersebut," ungkapnya.

Selanjutnya Wakil Kepala BKNitu juga menyampaikan empat keberatan BKN terkait empat kesimpulan Ombudsman RI. "Pertama, pelaksanaan rapat harmonisasi terakhir yang dihadiri oleh pimpinan kementerian dan lembaga yang seharusnya dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham. Nah atas pernyataan tersebut BKN menyatakan keberatan," kata Supranawa.

Dia mendasarkan, pada UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pasal 13 ayat 5 yang menyatakan badan dan atau pejabat pemerintah yang memberikan delegasi dapat menggunakan sendiri delegasi tersebut. "Apa yang dilakukan kepala BKN dalam rapat harmonisasi sama sekali tidak menyalahi kewenangan dan prosedur," katanya. 

Keberatan kedua adalah mengenai BKN tidak kompeten melaksanakan asesmen TWK. "Terhadap pernyataan tersebut BKN menyatakan keberatan. Pelaksanaan asesmen TWK dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN yang dilajukan KPK bekerja sama dengan BKN telah sesuai dengan kewenangan BKN dalam melaksanakanpenilaian ASN sebagaimana pasal 48 huruf P UU No 5 tahun 2014 tentang ASN," ucap Supranawa.

Penunjukan lembaga dan penggunaan tenaga ahli serta asesor yang punya kompetensi khusus dari instansi pemerintahan, menurut Supranawa, adalah tindakan yang sah dan dibenarkan berdasarkan UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Ketiga, pernyataan terkait nota kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN. Tidak digunakannya nota kesepahaman dan kontrak swakelola tersebut karena anggarannya tidak jadi anggaran KPK maka itu adalah hal yang lazim, bisa dicek apakah ada proses penagihan nota," ungkapnya lagi.

Menurut Supranawa, dengan tidak digunakannya nota dan kontrak swakelola, BKN menyatakan tidak ada pengaruh terhadap hasil TWK karena penilaian kompetensi ASN memang sesuai mandat BKN. "Keempat mengenai Kepala BKN mengabaikan amanat presiden 17 Mei 2021, kami keberatan dengan dasar bahwa arahan presiden sudah ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi rapat tindak lanjut di BKN pada 25 Mei 2021," tambah Supranawa.

Dia menjelaskan, pihak yang bisa menilai apakah telah terjadi pengabaian atau tidak adalah presiden sendiri selaku pemberi arahan dan pimpinan instansi yang menerima arahan. "Bukan pihak lain, karena itu kami sangat keberatan atas pernyataan Ombudsman tersebut," kata Supranawa.

Pada 5 Agustus 2021 lalu, KPK juga sudah melayangkan surat keberatan kepada Ombudsman RI terkait LAHP peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam surat tersebut, KPK menyampaikan 13 butir keberatan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement