Jumat 13 Aug 2021 16:56 WIB

Menteri LHK: Pejabat Turun Lapangan Sebelum Buat Kebijakan

Kebijakan pengelolaan lingkungan akan menyesatkan jika tak berdasar kondisi lapangan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Gita Amanda
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengingatkan, pentingnya pejabat di lingkungan Kementerian LHK memahami situasi sebenarnya di lapangan sebelum membuat kebijakan soal lingkungan.
Foto: Prayogi/Republika.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengingatkan, pentingnya pejabat di lingkungan Kementerian LHK memahami situasi sebenarnya di lapangan sebelum membuat kebijakan soal lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengingatkan, pentingnya pejabat di lingkungan Kementerian LHK memahami situasi sebenarnya di lapangan sebelum membuat kebijakan soal lingkungan. Hal ini menurut dia penting agar kebijakan yang dibuat tidak salah, tersesat, hanya modis atau bahkan sekadar figiratif atau ilustratif semata.

"Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dapat menyesatkan bila didasarkan pada data dan gambaran figuratif, bukan gambaran kondisi lapangan yang senyatanya. Kita tidak boleh tersesat dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan!" tegas Siti Nurbaya dalam keterangan pers terkait Sampah, Jumat (13/8).

Baca Juga

Tersesat dalam hal ini, ia menjelaskan, soal kesalahan dalam nengambil langkah kebijakan. Hal itu dikarenakan kebijakan yang dikeluarkan hanya didasarkan pada perilaku modis, pencitraan, dan asumsi yang keliru tentang kondisi masyarakat sekitar, masyarakat yang secara langsung mengalami dampak eksternalitas.

Menteri Siti memandang masyarakat sekitar sendiri yang memahami bagaimana mengelola sumber daya alam dan lingkungannya. Karena mereka yang terkena langsung dampak eksternalitas paling dekat.

"Sebagai masyarakat dan bangsa yang ingin maju kita perlu memahami dengan baik konstelasi ini, sehingga tidak ada peluang untuk menjadi tersesat," ungkap Menteri Siti.

Ia menjelaskan, pengelolaan lingkungan memerlukan partisipasi masyarakat dari berbagai kalangan. Pasca reformasi tahun 1998, sistem pemerintahan demokrasi desentralistik yang dianut Republik Indonesia saat ini memiliki konsekwensi seperti hubungan kewilayahan, kewenangan dan fungsi, administrasi dan organisasi, keuangan, serta hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam.

"Indikator keberhasilan desentralisasi tersebut antara lain harus ada keberhasilan dalam: suksesi kepemimpinan di daerah; partisipasi masyarakat; hadirnya Investasi; kedewasaan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan dan problem solving; serta berlangsungnya revenue sharing," terangnya.

Menurut Siti Nurbaya, partisipasi masyarakat merupakan unsur kedua terpenting dalam aktualisasi pemerintahan demokratis desentralistrik, dan Indonesia memiliki ciri itu. Kini, sebut dia, masyarakat Indonesia mengalami kemajuan dalam hal partisipasi, dari semula di era orde baru dengan partisipasi mobilisasi, telah jauh berkembang dalam bentuk aktualisasi partisipasi voluntarily, spontan dan diantaranya sistematis saat ini.

"Partisipasi masyarakat ini merupakan modal dasar kedua yang sangat penting untuk pembangunan, sejalan dengan modal dasar yang utama yaitu sumber daya alam yang kita miliki," paparnya.

Selanjutnya, Menteri Siti memberikan apresiasi yang tinggi kepada masyarakat yang telah turut berpartisipasi dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan, salah satunya adalah kelompok masyarakat yang mengelola sampah di daerahnya.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, seluruh kabupaten/kota didorong untuk melaksanakan pengelolaan sampah. Terdapat paradigma baru yang diperkenalkan disana yaitu dengan 2 (dua) pendekatan, yakni: pengurangan dan penanganan sampah. Paradigma yang dibangun tidak lagi kumpul-angkut-buang tetapi pengurangan melalui 3R, reduce, re-use dan recycle.

Data Kementerian LHK menunjukkan tahun 2021 mencatat bahwa pengelolaan sampah baru mencapai 55,96 persen dari target 100 persen sampah dikelola di tahun 2025. Angka tersebut diperoleh melalui upaya pengurangan sampah di seluruh kabupaten/kota sebesar 13,49 persen dari target 30 persen pada tahun 2025, dan upaya penanganan sebesar 42,47 persen dari target 70 persen di tahun 2025 menurut Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2017.

"Kita harus betul-betul bekerja efektif dengan hitungan waktu yang singkat hingga tahun 2025 dan begitupun pendekatan paradigmatik yang juga terus berkembang," tegasnya.

Ia mengingatkan sekarang pengelolaan sampah harus didasarkan pada profile pengelolaan sampahnya. Ini guna memudahkan dalam pengelolaan, karena ada paradigma terbaru yang dibangun yaitu sampah sebagai sumberdaya, sumber bahan baku ekonomi dengan prinsip green growth.

Lebih lanjut Menteri Siti menyatakan bahwa prinsip-prinsip sampah sebagai sumber daya baru terbarukan atau resource efficiency, economy circular dan green growth sudah mulai diterapkan dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Salah satunya adalah melalui bank sampah.

"Bank sampah menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk melakukan upaya pengurangan di sumber sekaligus mengubah cara pandang terhadap sampah sebagai sesuatu barang yang memiliki nilai ekonomi apabila dikelola dengan benar," ujar Siti.

Saat ini, menurut data KLHK tahun 2021, tercatat jumlah bank sampah sebanyak 11.556 unit yang tersebar di 363 kab/kota di seluruh Indonesia. Dengan jumlah nasabah sebanyak 419.204 orang, omzet bulanan kurang lebih Rp.2,8 miliar (data per Juli 2021), serta mampu melakukan pengurangan sampah sebanyak 2,7 persen dari total timbulan sampah nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement