Rabu 11 Aug 2021 15:05 WIB

M Natsir: Dari Pemuda Rakyat PKI, Beethoven, Hingga PRRI

Ridawan Saidi bertanya kepada M Nastir soal PRRI

Sukarno sebagai tokoh nasionalis saling bersalaman dalam acara pengangkatan tokoh umat Islam, Moh Natsir, sebagai perdana menteri di awal ahun 1950-an.
Foto: arsip nasional
Sukarno sebagai tokoh nasionalis saling bersalaman dalam acara pengangkatan tokoh umat Islam, Moh Natsir, sebagai perdana menteri di awal ahun 1950-an.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan dan Sejarawan Betawi.

Pada sebuah jam 1O.00 pagi itu di tahun 1975. Sesuai janji, saya sudah berada di Jl Jawa, kini Jl HOS Tjokro. Saya berada di kediaman bekas Perdana Menteri dan exs Ketua Masyumi, M Natsir. 

M Natsir (MS): Saidi, sebut mana yang gatal, biar saya tau mana yang mesti saya garuk.

Ridwan Sadidi (RS): Bapak kenapa ikut PRRI?

(Natsir terdiam sejenak, pandangan dilempar ke Jl Jawa).

M Natsir: Saidi, setiap malam dua truk Pemuda Rakyat PKI kumpul depan rumah saya sambil treak-treak. Umi (Ny Natsir) setiap saat terima telpon gelap. Saya adukan ke Kejaksaan Agung, tak ada reaksi. Saya merasa Jakarta bukan tempat tinggal yang aman bagi saya dan keluarga. Saya pindah ke Padang. Ternyata di sana orang-orang sudah siap dengan ini (maksudnya PRRI). Sudahlah Saidi, itu masa lalu saya.

RS: Setelah pembeontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia 1958, Sukarno serukan agar tokoh-tokoh PRRI ke luar hutan. Dan dijanjikan akan diberi amnesti dan abolisi. Taunya ditangkap dan dipenjarakan ber-tahun-tahun tanpa pengadilan. Tapi bapak tak pernah menyatakan marah pada Sukarno, juga bapak tak pernah memakai kata-kata  buruk untuk Sukarno. Kenapa, pak?

MN: Saidi, ketika saya di Algemene Midelbarschool,  saat-saat libur saya suka dengarkan musik klasik Beethoven atau Bach.

RS: Maap, pak. Bapak bermain biola?

MN: Ya. Selain itu saya membaca novel Cyrano de Bergerac. (Pandangan Natsir tertunduk, saya terasa terlempar jauh di lorong waktu mendengar nama-nama Beethoven, Bach, de Bergerac disbut Natsir, how come, I never heard before).

MN: (lanjut) Politik juga soal perasaan, di jaman revolusi tak ada orang yang paling dekat dengan Sukarno, kecuali saya. (Natsir lalu menatap saya dg dalam). Saidi, berpolitiklah, tapi tidak dengan dendam.

Saya tinggalkan rumah M, Natsir dengan langkah gontai seolah nemikul beban berat. Sepertinya aku tak ada daya menerima amanat dari seorang yg dipandang sebagai tokoh dunia Islam dan pahlawan Nasional.

Insyah Allah aku berusaha, kata hatiku ketika jalan kaki sudah melintas bioskop Menteng. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement