REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mencatat, ada 89 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Angka tersebut merupakan akumulasi pada Januari hingga Juli 2021.
"Kasus kekerasan yang kita tangani periode Januari sampai dengan Juli 2021 ada 89 kasus, terdiri dari anak laki-laki 20 kasus, anak perempuan 36 kasus, dan perempuan dewasa 33 kasus," ujar Kepala UPTD P2TP2A Kota Tangsel, Tri Purwanto di Kota Tangsel, Provinsi Banten, Ahad (8/8).
Menurut dia, angka tertinggi kekerasan terhadap anak dan perempuan tercatat terjadi pada April 2021 sebanyak 23 kasus. Tri menyebut, mayoritas kekerasan yang terjadi meliputi seksual dan psikis. Kasus tersebut terjadi di berbagai wilayah di Kota Tangsel.
"Paling banyak di tiga wilayah, yang sekarang lagi kita pantau di Kecamatan Pamulang, Ciputat, dan Pondok Aren. Tiga wilayah itu termasuk tinggi kasus kekerasannya," terangnya.
Tri menjelaskan, data kekerasan anak dan perempuan tersebut merupakan kumpulan dari berbagai referensi. Di antaranya, rujukan dari kepolisian, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan lembaga masyarakat, serta sejumlah laporan yang masuk ke UPTD P2TP2A Kota Tangsel.
Tri mengatakan, mayoritas informasi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan diperoleh dari adanya pengaduan. Usai mengadu, sambung dia, para korban ditindaklanjuti dengan memberikan fasilitas konseling psikolog. Pihaknya juga mendampingi jika korban kekerasan ingin melaporkan ke polisi.
"Biasanya yang mengadu kita minta cerita kronologisnya, sesudah tahu kita tindaklanjuti, kita datangi korban ataupun keluarga korban, baru kita fasilitasi,” tutur Tri.
Dia menjelaskan, pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kota Tangsel. Kondisi yang membuat masyarakat lebih banyak menjalankan aktivitas di dalam rumah dengan masalah kian mendera pada masa pagebluk.
"Masalahnya ruangannya di situ-situ saja (di rumah). Ketemunya di situ-situ saja, terutama kalau yang kayak gitu, kekerasan KDRT paling banyak. Keluarga dan anak juga kena, makanya saya bilang ada kasus fisik dan psikis karena ributnya orang tua anak-anak ikut terpengaruh," jelas Tri.