REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Baroto mengatakan, saat ini ada 48 dari 74 partai politik (parpol) yang sudah berbadan hukum, tetapi sudah tak aktif. Mayoritas hal tersebut terjadi karena adanya persoalan internal yang terjadi di parpol tersebut.
Mekanisme penyelesaian masalah, kata Baroto, menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik internal di sebuah partai. Sebab ada 45 partai politik yang sudah berbadan hukum, tetapi mereka tak memiliki Mahkamah partai yang bertugas menyelesaikan masalah internal.
"Mahkamah partai menjadi pihak yang independen di partai tersebut untuk menyelesaikan persoalan internal partai politik. Tapi pada kondisi tertentu, karena tidak ada pedoman, kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik mahkamah partai," ujar Baroto dalam sebuah diskusi daring, Rabu (4/8).
Masalah lainnya ada pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai yang dibuat tidak sempurna. Hal ini dapat menimbulkan konflik, karena ada sejumlah permasalahan yang proses penyelesaiannya tak tercantum dalam AD/ART.
Ketidaksempurnaan AD/ART disebutnya tak bisa lepas dari lahirnya partai itu sendiri. Sebab ada partai-partai yang bermasalah karena persoalan ketokohan hingga adanya perbedaan kepentingan.
"Kadang-kadang AD/ART tidak dibuat secara rigid, ketika tidak dibuat secara rigid dalam perjalanan muncul persoalan-persoalan tidak tercover di AD/ART. Ini yang kami hadapi, kami temui, sehingga muncul lah persoalan internal," ujar Baroto.
Selanjutnya, banyak partai yang sudah berbadan hukum, tetapi sudah tidak aktif lagi disebabkan oleh sumber daya manusia (SDM) di partai tersebut. Menurutnya, hal ini tidak bisa lepas dari masih rendahnya pendidikan, kesadaran, dan pemahaman politik di masyarakat.
"Jika masyarakat melek politik, memiliki pendidikan politik yang baik, sehingga mereka bisa memaksimalkan partai politik itu sendiri. Juga mereka tahu persis, ketika melahirkan partai politik itu untuk apa, untuk kepentingan apa," ujar Baroto.
Terakhir adalah mekanisme kaderisasi di sebuah partai politik. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut kerap menimbulkan konflik, terutama terhadap partai-partai baru yang belum memiliki mekanisme kaderisasi yang baik. "Sehingga kelanjutan dari perjuangan partai itu, kadang-kadang menurut kami rasakan menjadi PR," ujar Baroto.