Senin 02 Aug 2021 15:39 WIB

Puncak Kasus Covid-19 Jawa-Bali yang Telah Terlampaui

Kondisinya kini sejumlah daerah luar Jawa-Bali catat kenaikan kasus Covid-19.

Sejumlah kendaraan melintasi posko penyekatan di Jalan Raya Margonda, Depok, Jawa Barat, Senin (2/8). Pada hari terakhir Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, mobilitas warga yang akan menuju Jakarta cenderung meningkat hingga menimbulkan kemacetan mencapai satu kilometer. PPKM yang sudah berjalan sebulan menghasilkan penurunan kasus Covid-19 di Jawa dan Bali. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah kendaraan melintasi posko penyekatan di Jalan Raya Margonda, Depok, Jawa Barat, Senin (2/8). Pada hari terakhir Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, mobilitas warga yang akan menuju Jakarta cenderung meningkat hingga menimbulkan kemacetan mencapai satu kilometer. PPKM yang sudah berjalan sebulan menghasilkan penurunan kasus Covid-19 di Jawa dan Bali. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri, Antara

Pemberlakuan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali sejak 3 Juli 2021 membuahkan hasil. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengemukakan situasi puncak kasus Covid-19 di sejumlah daerah yang berada di pulau Jawa dan Bali sudah terlampaui.

Baca Juga

"Inilah saatnya kita bersama-sama mensyukuri apapun kekurangan dan kelebihannya kita sudah bisa melihat puncaknya sudah terlampaui. Terutama di daerah-daerah pulau Jawa," kata Budi, dalam agenda konferensi pers secara virtual, Senin (2/8).

Berdasarkan grafik laporan harian kasus yang dipaparkan Budi, tren kasus Covid-19 di pulau Jawa-Bali telah mencapai puncaknya pada 15 Juli 2021 mencapai 43.925 kasus. Setelah itu terjadi penurunan sekitar 60 persen.

Budi menyampaikan terima kasih kepada tenaga kesehatan, kepala daerah, TNI-Polri, yang sudah bersabar di puncak gelombang terakhir sehingga bisa menghadapinya dengan cukup baik dan mulai terlihat adanya perbaikan situasi. "Saya tahu ini belum 100 persen selesai, dan kita harus terus waspada sesuai arahan Presiden," katanya.

Budi mengatakan strategi utama dalam penanggulangan Covid-19 di dunia adalah upaya mengurangi laju penularan agar jangan sampai jumlah pasien yang harus dirawat di rumah sakit lebih besar dari kapasitas pelayanan yang tersedia. Sebab situasi pandemi, kata Budi, tidak ada yang selesai dalam waktu cepat, bahkan ada yang memerlukan waktu hingga ratusan tahun.

Ia mengatakan sejak awal pandemi, pemerintah telah mempersiapkan empat strategi berdasarkan panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di antaranya protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan (3M), strategi testing, tracing dan treatment (3T), vaksinasi, dan perawatan terhadap pasien. "Empat strategi ini harus dijalankan berbarengan, tidak mungkin hanya satu saja, pandeminya usai. Tujuannya adalah satu, yakni menurunkan laju penularan," katanya.

Budi menambahkan hampir 70 persen kasus Covid-19 berada di pulau Jawa-Bali. Namun dalam 13 hari pelaksanaan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), angka kasus mulai mengalami penurunan.

Meski kasus di Jawa-Bali menunjukkan penurunan, namun kasus Covid-19 di luar Jawa ternyata meningkat. "Kenaikan kasus di Jawa sangat tinggi, kemudian dilakukan intervensi kemudian kasus di pulau Jawa mulai menurun. Namun, di luar Jawa mulai naik kasus konfirmasi positifnya," ujarnya.

Meski tak menyebutkan jumlah, Budi mengeklaim, jumlah kenaikan kasus di luar Jawa lebih sedikit. Sehingga, terjadi penurunan kasus secara nasional.

Kemenkes akan melakukan penanganan di luar Jawa dengan replikasi intervensi seperti yang telah dilakukan di Jawa. Ia menambahkan, Kemenkes berupaya intensif melakukan upaya testing, lacak, isolasi (3T) di Jawa saat PPKM Darurat. Kemudian diharapkan, pulau di luar Jawa juga bisa mengurangi penularan Covid-19 sama seperti yang terjadi di Jawa. Budi menegaskan, upaya 3T merupakan yang paling penting.

"Karena kalau upaya 3T terlalu rendah, kita terlambat mengetahui siapa yang terinfeksi sehingga (angka) kematiannya tinggi," katanya.

Ia menjelaskan, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia tinggi karena masuk rumah sakit sudah dalam kondisi terlambat, imbas dari jumlah pemeriksaan yang kurang banyak. Ia menambahkan, untuk positivity rate di bawah 5 persen maka harus melakukan testing 1:1.000 per pekan, jumlah tersebut sesuai dengan standar organisasi kesehatan dunia PBB (WHO).

Tetapi kalau positivity rate lebih dari itu maka testing harus ditingkatkan. "Dengan demikian diharapkan kalau positivity rate masih tinggi, yang menggambarkan laju penularan tinggi maka tes harus lebih banyak supaya lebih cepat tahu siapa yang sakit, yang dikarantina kemudian tidak menularkan dan yang butuh perawatan cepat dirawat (di rumah sakit) sehingga bisa mengurangi kematian," katanya.

Kendati demikian, ia menegaskan testing yang seharusnya dilakukan adalah epidemiologi, bukan pemeriksaan untuk skrining. Ia menyontohkan pemeriksaan untuk skrining dilakukan ketika akan bepergian, akan ada acara, akan bertemu orang, hingga protokol kesehatan pandemi mengharuskan testingnya adalah epidemiologi.

"Tes untuk skrining boleh tetap jalan untuk memastikan acara tersebut atau selama proses transportasi aman. Tetapi angka yang kami kejar adalah angka hasil pelacakan atau testing epidemiologi," katanya.

Sejauh ini, ia mengakui testing epidemiologi di Indonesia masih baru 45 persen. Kemenkes mengaku akan mensosialisasikan ini lebih banyak meski testing skrining tetap berjalan. Ia menambahkan, Kemenkes berkomitmen akan lebih agresif melakukan 3T lewat testing epidemiologi yang bersumber dari pelacakan kontak erat dan suspek.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement