Senin 02 Aug 2021 10:05 WIB

Pengelolaan Limbah Medis Covid-19 Diminta Harus Maksimal

Limbah medis Covid-19 bisa jadi sumber penularan baru jika tak dikelola dengan baik.

Petugas kesehatan memakai Alat Pelindung Diri (APD) mengumpulkan limbah medis di ruang perawatan pasien COVID-19 di RSUD Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/6/2021). Penambahan jumlah kasus positif COVID-19 di Kota Bogor menyebabkan tingkat keterisian tempat tidur di ruang perawatan dan ICU RSUD Kota Bogor ikut meningkat hingga mencapai 75 persen atau hampir masuk kategori zona merah.
Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Petugas kesehatan memakai Alat Pelindung Diri (APD) mengumpulkan limbah medis di ruang perawatan pasien COVID-19 di RSUD Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/6/2021). Penambahan jumlah kasus positif COVID-19 di Kota Bogor menyebabkan tingkat keterisian tempat tidur di ruang perawatan dan ICU RSUD Kota Bogor ikut meningkat hingga mencapai 75 persen atau hampir masuk kategori zona merah.

REPUBLIKA.CO.ID, MADIUN -- Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta penanganan limbah medis Covid-19 di Tanah Air harus dilakukan dengan maksimal agar tidak menimbulkan masalah kesehatan dan dampak bagi lingkungan.

Menurutnya, limbah medis atau infeksius penanganan Covid-19 yang termasuk B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), akan menjadi sumber penularan baru Covid-19 jika tidak dikelola dengan baik. Ia menilai penanganan limbah medis Covid-19 masih belum maksimal.

"Penanganan limbah medis Covid-19 tidak boleh dianggap sepele. Harus dikerjakan cepat, aman, dan efisien sebagai bagian penting dari upaya mengurangi penyebaran Covid-19 dan penyakit lainnya," ujar LaNyalla.

Berdasarkan catatan pemerintah, terdapat sekitar 18.460 ton limbah medis per 27 Juli 2021. Limbah tersebut berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit, puskesmas, RS darurat Covid-19, wisma isolasi, tempat karantina mandiri, hingga uji deteksi, maupun vaksinasi.

Limbah itu antara lain berupa pakaian medis, sarung tangan, "face shield", baju hazmat, alat pelindung diri, infus bekas, masker, botol vaksin, jarum suntik, alat PCR, antigen, dan alkohol pembersih swab.

"Saya dengar pemerintah menyiapkan dana Rp 1,3 triliun untuk pengelolaan limbah B3 medis tersebut. Dengan dana sebesar itu penanganannya harus lebih sistematis dan tepat," lanjutnya.

Pada masa pandemi, produksi limbah medis mencapai sebanyak 383 ton per hari. Sampai saat ini, baru 4,1 persen rumah sakit di Indonesia yang memiliki fasilitas pembakaran limbah medis B3 atau insinerator yang berizin.

Sementara itu ada 20 pelaku usaha pengelolaan limbah di seluruh Indonesia, tetapi hampir semuanya di pulau Jawa. Oleh karena itu, LaNyalla menginginkan supaya instrumen untuk pengelolaan limbah medis merata di semua daerah.

"Segera dibangun alat-alat pemusnah limbah B3 medis di tiap kota atau kabupaten, minimal provinsi. Apakah memakai insinerator atau alat lain itu terserah pada Kementerian Lingkungan Hidup," kata Senator asal Jawa Timur itu.

Selain dimusnahkan, LaNyalla mengusulkan, limbah medis yang berpotensi untuk didaur ulang sebaiknya didaur ulang menjadi produk baru. Tetapi tetap harus memperhatikan faktor keamanan dan dan kesehatan.

"Kalau memungkinkan didaur ulang, kenapa tidak. Justru lebih bagus, karena nantinya akan menambah nilai ekonomi," terang Mantan ketua Umum PSSI itu.

LaNyalla juga mengingatkan kepada masyarakat untuk berhati-hati membuang alat medis yang telah digunakan. Hal itu agar tidak membahayakan orang lain. "Lebih baik limbah dari kita seperti masker langsung dibakar saja dari pada dibuang ke tempat sampah," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement