REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merekomendasikan adanya reformulasi harga eceran tertinggi (HET) agar peritel farmasi bisa mendapatkan margin yang wajar dalam penjualan obat terapi Covid-19.
Direktur Ekonomi KPPU Zulfirmansyah menjelaskan, berdasarkan informasi yang di lapangan, khususnya di beberapa daerah di Kalimantan dan Jawa Tengah, penetapan HET dengan pembatasan margin yang relatif kecil banyak dikeluhkan oleh apotek dan toko farmasi.
"Jika memang HET ini jadi masalah dalam pengadaan obat kita, KPPU merekomendasikan beberapa opsi, salah satunya reformulasi HET agar bisa mendapatkan margin wajar sebagaimana dikeluhkan beberapa apotek dan pelaku usaha," kata Zulfirmansyah dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat (30/7).
Zulfirmansyah menuturkan, margin yang tipis cukup memberatkan apotek atau toko farmasi di daerah. Hal itu juga diduga menjadi penyebab kelangkaan obat. Namun, ketidakseimbangan pasokan dan permintaan obat terapi Covid-19 tidak berarti apotek menahan pasokan.
"Kami sudah memiliki data supply demand baik itu obat maupun oksigen di setiap daerah. Memang kelihatan ada ketidakseimbangan antara supply dan demand. Dugaannya, mereka entah menahan pasokan atau memang tidak ada stok. Kalau dilihat dari aplikasi Farmaplus, beberapa memang ketersediaan tidak ada," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner KPPU Ukay Karyadi menjelaskan penetapan HET untuk obat terapi Covid-19 memang membuat margin keuntungan di setiap tingkatan dibatasi mulai dari level industri, distributor hingga apotek (ritel).
"Oleh karena itu, kami merekomendasikan HET tersebut direformulasi, ada penyesuaian dengan melibatkan pelaku industri farmasi, termasuk ritel," katanya
.Opsi lainnya, yakni pemerintah memberlakukan HET dengan besaran yang tetap, namun menyediakan insentif berupa subsidi untuk menutup sebagian biaya distribusi. Opsi selanjutnya, kata Ukay, HET tidak berubah.
Namun, pemerintah mengerahkan jaringan apotek BUMN dan fasilitas kesehatan pelat merah di pusat dan daerah untuk menjadi distributor utama penjualan obat. "Asumsinya, jaringan apotek dan faskes pemerintah dapat memenuhi sebagian besar permintaan terhadap produk obat esensial tersebut," kata Ukay.
Dia menambahkan, margin yang kecil juga membuat sejumlah apotek lebih memilih menjual vitamin yang tak diatur HET-nya."Ada apotek juga yang mengeluhkan sering diperiksa. Logisnya daripada dapat margin tipis, lebih baik jualan vitamin yang harga tak diatur," ujar Ukay.