REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menilai, terdapat lima virus pendidikan di Indonesia. Lima virus disebut jadi unsur yang pelan-pelan mengikis identitas nasional pelajar Indonesia dari jati diri bangsa.
"Saya tidak akan bilang dosa, kalau ada yang bilang dosa pendidikan Indonesia itu nanti terlalu sakral, saya menyebutnya virus saja," kata Haedar saat jadi pembicara kunci dalam webinar nasional guru-guru Muhammadiyah, Sabtu (24/7).
Pertama, virus agnostik atau agnostisisme sebagai bentuk laten cara pandang dan kebijakan yang menjauhkan siswa dari nilai-nilai ketuhanan dan agama. Keduanya dinegasikan dengan ilmu pengetahuan karena dipandang sebagai sumber masalah.
Yang mana, lanjut Haedar, sebenarnya justru dimunculkan sejumlah kecil oknum-oknum umat beragama saja. Ini semacam alam pikiran sekuler di mana ada praktik terorisme, orang sempit beragama, lalu disebutkan kalau agama sumber masalah. "Nah, di dunia pendidikan modern itu sudah mulai masuk," ujar Haedar.
Kedua, virus ekstrimisme dan radikalisme apa saja. Haedar menengarai kurikulum belum banyak berubah dari sikap generalisasi dan stigmatis. Kata apa saja untuk menolak pandangan ekstrimisme dan radikalisme hanya identik agama, lebih khusus Islam.
Ia menekankan, ada ekstrimisme dan radikalisme karena pandangan agama yang ekstrem seperti jangan takut virus atau takut hanya kepada Tuhan. Padahal, Haedar mengingatkan, kata Rasulullah ikat dulu untamu (berusaha), baru pasrah.
Tapi, ada juga ekstrimisme dan radikalisme atas nama kebangsaan, chauvinisme nasionalisme, yang memandang nasionalismelah yang utama, agama dan lain-lain nomor dua. Ada pula ekstrimisme radikalisme karena politik seperti separatisme. "Atau ideologi misalnya komunisme, liberalisme dan lain-lain," kata Haedar.
Ketiga, virus kekerasan di dunia pendidikan, baik oleh guru kepada murid atau murid kepada murid yang lain seperti perundungan. Keempat, virus asusila atau pelecehan seksual yang walau terbilang kecil tetap mencoreng integritas ahlak.
Haedar menekankan, jumlah yang kecil tetap jangan sampai menjadi kultur yang terkondisi selalu menoleransi hal-hal seperti ini. Sebab, jika dunia guru saja sudah bobol dari sisi ini tidak ada yang digugu dan ditiru atau jadi teladan.
Kelima, virus pembodohan, yakni mengajari murid dengan hal-hal tidak selayaknya diajarkan, membuat civitas akademika tidak tercerahkan. Meski begitu, Haedar mengingatkan, ada banyak kisah-kisah sukses dalam dunia pendidikan Tanah Air. "Ini modal kita untuk memajukan dunia pendidikan dalam rangka optimisme dan tetap semangat karena banyak guru juga yang menjadi teladan," ujar Haedar.