Kamis 22 Jul 2021 19:08 WIB

Pengabdian Senyap tak Berhenti Para Penjemput Jenazah 

Petugas penjemput jenazah isoman Covid-19 bekerja tanpa henti bergantian.

Rep: Uji Sukma Medianti/ Red: Nashih Nashrullah
Petugas penjemput jenazah isoman Covid-19 bekerja tanpa henti bergantian. Ilustrasi petugas jenazah Covid-19
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petugas penjemput jenazah isoman Covid-19 bekerja tanpa henti bergantian. Ilustrasi petugas jenazah Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, Panggilan telepon call center penjemputan jenazah tak henti berdering. Hanya ada satu alasan orang menghubungi nomor itu. Kematian!   

Saat telepon dijawab, yang terdengar adalah tangisan, ratapan serta keputusasaan. Semua itu datang bertubi-tubi. Belum rampung panggilan pertama, panggilan kedua sudah menunggu antrean. 

Baca Juga

Seorang pelayan Call Center penjemput jenazah di Kota Bekasi, Rinto Butarbutar, menghadapinya selama dua bulan terakhir ini.  

Kasus Covid-19 di Kota Bekasi memang melonjak sejak Juni lalu. Lantas, pada awal Juli 2021 pemda setempat menyediakan layanan penjemputan jenazah yang bermarkas di Stadion Patriot Candrabhaga. 

Layanan ini gratis, yang mana para relawan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi menjadi petugasnya.   

Diakui Rinto, kematian akibat Covid-19 yang terjadi di rumah saat isolasi mandiri (isoman) amat tinggi. Setidaknya, hal ini membuat mereka harus stand by selama 24 jam.  

“Di sini ada tiga shift, jadi memang 24 jam. Karena mereka yang meninggal saat isoman di rumah, tidak bisa dibiarkan menunggu terlalu lama,” ujar Rinto saat ditemui Republika.co.id, di kantornya beberapa waktu lalu. 

Getirnya proses penjemputan jenazah ini, tak berhenti di ujung telepon saja. Diceritakan Rinto, sebelum ada layanan tersebut, ada warga yang keluarganya harus menunggu selama berjam-jam hanya untuk dievakuasi dari rumah. 

Dia pun bergumam ,’mati dalam kondisi pandemi memang memilukan’. Mereka bertemu ajal dalam nafas yang sesak, melawan Covid-19. Ketika hanya jasadnya yang tersisa, mereka harus dijauhi pula. Tak ada yang mau mendekat.  

“Mereka meninggal dan tak ada berani mendekat. Jangankan mendekat, bahkan mereka ada yang dikucilkan tetangga, minta buru-buru agar dimakamkan,” cerita Rinto.

Kematian akibat pandemi memang memiliki risiko tinggi sehingga harus dimakamkan segera. Dengan disertai protokol pemulasaraan sesuai standar WHO. Tanpa pengajian, perpisahan, dan juga penguburan seperti pada umumnya kematian. 

Keluarga mereka yang gugur dalam pagebluk, seakan tak diizinkan menyelesaikan duka secara tuntas. Semua harus berlangsung cepat dan sesegera mungkin dimakamkan. 

Di tengah kondisi ini, dia menyayangkan kepada warga yang meminta buru-buru agar jenazah dipindahkan. Minim empati, katanya. 

“Ada yang menangis, mereka sedih karena ditinggal keluarga tapi mereka juga lebih sedih karena bingung harus bagaimana,” ungkapnya.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement