Kamis 08 Jul 2021 08:11 WIB

Keladi dan Filantropi: Tak Boleh Ada Rakyat yang Kelaparan

Filantropi adalah penghasil umbi kebaikan negeri,

Lembaga filantropi seperti pohon keladi. Foto ilustrasi sedekah.
Foto:

Oleh : Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI

Filantropi Bagaikan Keladi

Dari sejumlah sifat dan karakter tanaman keladi. Ada yang selaras dengan filantropi. Keladi sepanjang umbinya aman dan tak busuk, ia akan terus tumbuh. Walaupun di permukaan ada badai, kebanjiran, kebakaran atau kemarau hebat sekalipun, asal umbinya masih terjaga dengan baik, ia akan tumbuh Kembali.

Jenis yang hampir sama lebih hebat lagi. Saudaranya keladi ini bernama talas (Colocasia sp). Tanaman talas merupakan tanaman pangan dari umbi-umbian yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Talas termasuk dalam suku talas-talasan (Araceae). Di Indonesia talas bisa dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan di atas 1.000 mdpl, baik liar maupun ditanam.

Talas juga dapat tumbuh dengan cara sengaja ditanam, dibudidayakan maupun hidup liar (dibuang). Talas tidak hanya untuk dikonsumsi tetapi ada beberapa jenis talas yang dijadikan tanaman hias. Namun tanaman talas yang sering dijadikan tanaman hias sering disebut dengan keladi (Xanthosoma sp).

Meski keladi tergolong dalam suku talas-talasan antara keladi dan talas memiliki perbedaan. Keladi masuk dalam genus caladium sedangkan talas masuk dalam genus colocasia. Sedangkan talas menghasilkan umbi yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, hampir 90 persen bagiannya bisa dimakan.

Istilah filantropi berasal dari bahasa Yunani, dari kata philos (berarti cinta) dan antropos (berarti manusia), yaitu aktivitas kecintaan kepada manusia. Padanan kata philanthropy adalah charity. Tindakan atau perilaku filantropi adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Bentuk-bentuk kedermawanan seperti zakat, infak, sedekah dan wakaf atau sekarang lebih populer dengan istilah filantropi Islam, adalah jantung dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu rukun iman yang lima. Praktik dari bentuk kedermawanan ini dalam sejarah Islam, membuktikan Islam dalam doktrin normatifnya, adalah agama yang menekankan kesalihan sosial yang berujung pada keadilan sosial. Dalam praktiknya filantropi Islam bukan sekadar aktivitas, tapi sesungguhnya ia mengakar tradisi yang kuat, tradisi langit dan bumi yang kaya (Fauzia, 2016:439).

Seorang Muslim atau sebuah lembaga yang mengambil jalan filantropis sejak awal harus mengikhlaskan diri untuk tidak memiliki pamrih. Walaupun ia menolong sesama, saat ia tak mendapat dukungan atau pujian atas tindakannya, ia harus tetap tegar dan bertumbuh.

Individu atau Lembaga-lembaga filantropi juga harus menyadari bahwa spirit filantropi ini tumbuh dalam bingkai kemanusiaan. Bukan hanya di kalangan Muslim saja semangat ini muncul, bahkan di Barat dan pada agama-agama lain pun semangat ini lahir dan kuat mengakar.

Dalam konteks yang lebih umum, filantropi adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Istilah ini juga merujuk kepada pengalaman Barat pada abad XVIII ketika negara dan individu mulai merasa bertanggung jawab untuk peduli terhadap kaum lemah (Jusuf, 2007: 75).

Dalam perkembangannya, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia menurut survei lembaga amal Charities Aid Foundation (CAF) dalam laporan World Giving Index 2018 dan juga pada 2021 ini. Penghargaan ini bermakna masyarakat Indonesia amat pemurah dan peduli.

Dengan spirit gotong royongnya yang khas Indonesia, didukung semangat solidaritas, dalam beragam bentuk dan istilah yang tumbuh subur hampir di seluruh daerah di Indonesia, jelas ini membanggakan. Tradisi lama di Jawa misalnya, yang bernama tradisi “jimpitan” hingga kini masih lestari di beberapa daerah. Mereka berbagi tak menunggu kaya atau mampu, namun lebih pada keterpanggilan jiwa untuk terlibat membantu sesama.

Walau kedermawanan ini tumbuh baik, namun dalam dinamikanya, urusan filantropi tak semudah membalikan telapak tangan. Ajaran keimanan terkait zakat, infaq dan sedekah, yang didukung cita-cita Islam untuk membangun masyarakat sejahtera, dalam bingkai filantropi tetap saja tak segampang dalam praktiknya. Sejarah filantropi sejak berabad lalu menunjukan bentang adanya dinamika yang tak selamanya mulus.  

Dinamika praktik filantropi yang dikelola oleh dan untuk umat Islam, tidak terlepas dari bermacam kepentingan yang ada dan berkelindan, apalagi ketika soal filantropi ini berkaitan dengan otoritas kekuasaan. Sebagai bagian ajaran Islam, praktik filantropi Islam tetap masuk menjadi praktik atas ekspresi umat dalam bingkai kekuasaan.

Ia tidak bisa otonom dikelola tanpa aturan yang ada. Hal ini karena negara memiliki otoritas mengatur banyak kebijakan untuk masyarakat, termasuk soal pengelolaan filantropi.

Dalam beberapa fase yang ada, pengelolaan filantropi lebih banyak bertumpu dan diperankan oleh masyarakat sipil. Namun dalam masa tertentu, sejarah juga mencatat bahwa praktik filantropi menunjukan adanya kontestasi (persaingan) antara masyarakat sipil Islam dengan negara (state) (Jusuf, 2007: 76).

Secara sifat, filantropi terbagi ke dalam filantropi tradisional dan filantropi modern. Filantropi tradisional adalah filantropi yang berbasis karitas (charity) yang secara umum berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial. Program filantropi tradisional misalnya  pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain- lain.

Sedangkan filantropi modern lebih kuat spiritnya ke kegiatan atau aktivitas pemberdayaan (empowerment). Sejumlah kegiatan yang dilakukan juga mengarah kepada terjadinya perubahan sosial yang lebih baik. Hal ini juga selaras dengan adanya keinginan untuk memandirikan masyarakat agar mampu berdaya dan melakukan perbaikan dengan kemampuan yang dimiliki. Adapun metode utama dalam filantropi modern mengarah pada pengorganisasian masyarakat, advokasi dan pendidikan publik(Jusuf, 2007: 78).

Di balik adanya sejumlah kendala dalam pengelolaan filantropi di Indonesia, baik itu soal regulasi, digitalisasi prosesnya serta soal sumberdaya manusia yang terbatas kualitasnya, ternyata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengharapkan dana filantropi bisa menjadi bagian dari pembangunan Nasional. Dikutip dari berita Inews-id berjudul Mobilisasi Dana SDGS Menkeu Tampung Aksi Filantropi, dalam acara Hal acara Spring Meetings International Monetary Fund – World Bank Group 2019 (IMF-WBG Spring Meetings 2019) di Washington D.C pada Jumat, (12/4/2019), Sri Mulyani memaparkan bagaimana Indonesia akan memobilisasi dana untuk Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dengan aksi filantropi. Istilah yang ia sampaikan adalah blended finance.

Istilah atau skema blended finance scheme atau skema keuangan campuran ini dengan menyatukan dana dari pemerintah, dana publik, swasta termasuk filantropi yang disatukan dalam platform SDGs Indonesia One. Untuk mengimplementasikan ambisi SDGs dibutuhkan sekitar 6 triliun dolar AS.

Dengan melihat besarnya harapan Menteri Keuangan kita, idealnya persoalan-persoalan filantropi Islam didorong agar memiliki kemudahan, termasuk dalam prosses perijinan serta pengawasannya agar pertumbuhan filantropi juga semakin pesat dan mampu mewujudkan harapan ini. Soal insentif langsung bagi amil, barangkali masih panjang prosesnya, tetapi setidaknya dalam urusan sertifikasi amil zakat, pemerintah harus turun tangan dengan menyediakan skema dana dari APBN untuk mendorong semua amil tersertifikasi dan kemudian memiliki kemampuan standar dalam mengelola zakat di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement