REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Pemberlakuan PPKM darurat membuat beberapa jalan di wilayah perbatasan Bekasi-Jakarta disekat sejak Sabtu (3/7) kemarin. Penyekatan ruas jalan ini tujuannya untuk membatasi mobilitas warga demi menekan angka Covid-19. Namun, akibat dari kebijakan tersebut menimbulkan masalah baru.
Pada pemberlakuan PPKM darurat hari ketiga misalnya, yang jatuh pada Senin (5/7) lalu. Antrean kendaraan mengular dan menumpuk di Jalan Raya Kalimalang arah Jakarta di Jembatan Lampiri, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Hal ini membuat para pekerja di sektor essensial dan kritikal seperti yang diatur dalam peraturan PPKM darurat ikut kena imbasnya. Salah satunya, yang dialami oleh Syafitri (27). Dia adalah warga Kota Bekasi yang bekerja di bagian laboratorium di salah satu RS di DKI Jakarta.
"Iya kena macet. Padahal saya termasuk nakes. Dan memang harus masuk, jangankan WFH. Cuti pun belum dibolehkan," terang dia saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/7).
Sebelum wabah Covid-19, ia bekerja menggunakan moda transportasi umum yaitu commuterline. Namun, sudah satu tahun belakangan ini ia memilih kendaraan pribadi untuk bekerja. Tujuannya hanya satu. Meminimalisir kontak dengan banyak orang di transportasi umum. "Pekerjaan saya di lab sudah penuh risiko, ya saya berikhtiar saja dengan menggunakan kendaraan pribadi meski kena macet," tutur dia.
Pada masa PSBB awal, yakni Maret 2020 lalu waktu yang ia gunakan untuk berangkat kerja dari Kota Bekasi-Jakarta Pusat kurang dari satu jam. Namun, setelah dilonggarkan waktu tempuhnya mulai normal. "Ya mau gimana. Sudah banyak orang yang beraktivitas lama kelamaan," kata dia.
Syafitri yang merupakan ibu dari satu orang anak ini, mengaku tak diminta Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP) sebagai syarat boleh melanjutkan perjalanan saat disekat petugas. Ia hanya menunjukkan kartu identitas karyawan tempatnya bekerja saja. "Sejauh ini enggak pakai STRP. Nunjukkin ID Card aja," terang dia.