Sabtu 03 Jul 2021 12:02 WIB

Pilih PPKM Darurat Dibanding PSBB, Pengamat: Lebih Ekonomis

Di beberapa negara Eropa dan Korsel, Lockdown lebih efektif atasi Covid-19

Rep: Ali Mansur/ Red: Hiru Muhammad
Petugas keamanan berjaga di area kedai Paskal Food Market yang tutup di Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/7/2021). Rumah makan diizinkan boleh beroperasi hanya untuk melayani pesanan untuk dibawa pulang selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Pulau Jawa-Bali pada 3-20 Juli 2021 sebagai upaya menekan penyebaran COVID-19.
Foto: Antara/Novrian Arbi
Petugas keamanan berjaga di area kedai Paskal Food Market yang tutup di Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/7/2021). Rumah makan diizinkan boleh beroperasi hanya untuk melayani pesanan untuk dibawa pulang selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Pulau Jawa-Bali pada 3-20 Juli 2021 sebagai upaya menekan penyebaran COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Komunikasi Politik, Jamiluddin Ritonga Universitas Esa Unggul menilai, diterapkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dibanding lockdown karena untuk menjaga keseimbangan sisi ekonomi dan sisi kesehatan. Padahal pilihan ini sudah terbukti tidak efektif, maka munculah wacana untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskal Besar (PSBB) atau lockdown.

"Jadi, pemerintah memilih PPKM Darurat tampaknya karena lebih ekonomis daripada PSBB diperketat atau lockdown. Kebijakan ini tetap memberi ruang ekonomi berjalan," ujar Jamiluddin dalam pesan singkatnya kepada Republika, Sabtu (3/7).

Menurut Jamiluddin, Pemerintah seharusnya belajar, PSBB yang diperketat yang pernah dilaksanakan terbukti lebih dapat menekan lonjakan kasus Covid-19. Hanya saja, kebijakan ini membawa implikasi pemerintah harus menyiapkan kompensasi kepada masyarakat agar dapat bertahan hidup selama PSBB diberlakukan.

"Hal yang sama juga berlaku bila lockdown yang dipilih. Bahkan implikasi kompensasinya kepada rakyat akan lebih besar daripada kebijakan PSBB diperketat," kata Jamiluddin.

Padahal bertolak dari kasus di beberapa negara di Eropa, Selandia Baru, dan Korea Selatan, penerapan lockdown jauh lebih efektif dalam penanganan Covid-9. Bahkan negara tersebut sekarang sudah mendekati hidup normal seperti sebelum adanya pandemi Covid-19 dengan membebaskan warganya dari masker.

"(Di Indonesia) Kasus Covid-19 hingga saat ini tidak dapat dikendalikan, dan belakangan ini justeru menunjukkan grafik peningkatan yang sangat siginifikan," keluh Jamiluddin.

Lanjut Jamiluddin, dengan kebijakan tersebut, pemerintah bukan berarti terbebas dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan makan rakyatnya. Hal itu setidaknya diberikan kepada rakyat yang terimbas dari kebijakan PPKM Darurat. Rakyat yang tidak mampu dan berpenghasilan tidak tetap di Pulau Jawa dan Bali haruslah diberi bantuan sosial. Kewajiban ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan yang diambil.

Kemudian, sambung Jamiluddin, kalau kebutuhan pangan rakyat tidak mampu dipenuhi selama PPKM Darurat, barulah pemerintah dapat menindak rakyatnya yang tidak patuh dengan aturan yang ditetapkan. Tapi kalau tidak, kata dia, maka tidak sepantasnya pemerintah menindak rakyatnya apalagi menuntut untuk melaksanakan semua aturan PPKM Darurat.

"Jadi, selama PPKM Darurat dilaksanakan hak pemerintah boleh dilaksnakan kalau kewajibannya minimal memenuhi pangan rakyatnya sudah dipenuhi," terang Jamiluddin.

Selanjutnya, Jamiluddin mengatakan, kalau hak rakyat sudah dipenuhi, barulah pemerintah dapat menuntut rakyatnya melaksanakan kewajiban aturan PPKM Darurat. Termasuk tentunya semua pihak melaksanakan  testing, tracing, treatment (3T) dan protokol kesehatan. Hanya dengan begitu, PPKM Darurat diharapkan dapat menekan lonjakan Covid-19. 

"Pemerintah dan rakyat melaksanakan bersama berdasarkan hak dan kewajibannya. Mungkin inilah yang dinamakan adil," tutur Jamiluddin. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement