REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Gubernur Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) Isran Noor menyatakan prihatin atas kondisi kerusakan lingkungan di wilayah setempat diduga karena aktivitas pertambangan batubara. Isran Noor mengatakan, saat ini proses perizinan kegiatan pertambangan telah beralih ke pemerintah pusat.
Hal itu membuat pemerintah daerah khususnya provinsi tidak bisa berbuat banyak untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. "Jika saya bupati atau wali kota mungkin saya bisa gugat. Tapi karena saya gubernur dan wakil pemerintah pusat di daerah, tentu tidak bisa. Artinya, sama dengan menggugat diri sendiri," kata Isran ketika peringatan Puncak Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia 2021 di Balikpapan, Selasa (29/6).
Diketahui, kegiatan pertambangan khususnya batu bara di wilayah Kaltim tumbuh subur. Bahkan, tidak hanya perusahaan yang memiliki izin legal saja yang aktif beroperasi.
Perusahaan tanpa surat izin juga marak ikut mengeruk kandungan tambang tersebut. Sejumlah bencana akibat pertambangan kerap disuarakan oleh para aktivis pertambangan di antaranya jalan umum rusak parah, longsor hingga terjadinya musibah banjir besar.
Menurut Isran, untuk menertibkan itu, maka hanya satu kata saja yang diinginkan kepala daerah, khususnya Kaltim. Yaitu, adanya aturan yang menetapkan kepala daerah memiliki tanggung jawab moral terhadap pengawasan pertambangan.
Saat ini, lanjut Isran, kata-kata yang dimaksud itu tidak ada dalam aturan perundang-undangan perizinan pertambangan. "Jadi, satu kata saja, meski aturan itu ditarik ke pusat. Tetapi kepala daerah memiliki tanggung jawab moral dalam pengawasan pertambangan di lapangan. Itu saja yang diperlukan. Sehingga kepala daerah bisa berkoordinasi dengan pihak keamanan, baik TNI maupun Polri," kata dia.
Bagi Isran, hal itu penting agar pertambangan tidak merugikan masyarakat di lingkungan sekitar aktivitasnya. Produksi batubara masih diperlukan bagi pembangunan di sejumlah negara luar di Asia maupun Eropa. Diperkirakan lima hingga 10 tahun ke depan.