REPUBLIKA.CO.ID, Zaki bersemangat merawikan kegembiraannya saat putra bungsunya menyampaikan ingin meneruskan pendidikan ke pesantren pascalulus sekolah dasar beberapa tahun lalu. Sebagai ayah, Zaki mengaku gembira karena putranya mau memperdalam ilmu agama di pesantren. Namun, ternyata keinginan sang anak tak berjalan mulus. Penyebabnya istri Zaki masih berat melepas putra bungsunya mondok di pesantren.
Setelah diskusi panjang, Zaki menceritakan akhirnya ia dan istri mencari alternatif sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan Islam yang setara dengan pondok pesantren. Setelah berkeliling, ia pun memasukkan sang anak ke SMPIT. Keinginan sang anak masuk pesantren tertunda.
"Di sekolahnya itu (SMPIT) ada ketentuan minimal hafal empat juz Alquran setelah lulus. Dan, dia saat lulus bisa menghafalkan enam juz Alquran. Alhamdulillah," kata Zaki ketika bertegur sapa dengan Republika.co.id di sebuah masjid.
Meski gagal masuk pesantren tingkat sekolah menengah pertama, ternyata keinginan sang anak tidak luntur. Berkat dorongan dari ustadz di SMPIT tempatnya menimba ilmu, keinginan sang anak masuk pondok pesantren makin menggunung. Tujuannya adalah Pondok Pesantren Modern Gontor 1 di Ponorogo, Jawa Timur.
"Istri saya awalnya masih tidak tega, tapi akhirnya membolehkan asal pesantrennya dekat, jadi bisa sering dikunjungi," tutur Zaki.
Zaki dan istri pun sempat survei ke beberapa pesantren, mulai dari Sawangan hingga Parung, Bogor. Namun, karena berbagai kendala mereka tidak jadi memasukkan putranya ke pesantren yang sudah disurvei. "Ternyata, belum ada yang jodoh," ujar Zaki.
Sang anak pun ternyata hanya ingin mondok di Ponpes Gontor. Atas dasar itulah, sebagai ikhtiar Zaki memasukkan anaknya ke sebuah bimbingan belajar khusus masuk ke pesantren. "Guru-gurunya lulusan Gontor. Qadarullah ternyata setelah bimbingan dan usai tes diterima."
Zaki pun mengaku bangga anaknya belajar di pondok pesantren. Ia berharap anaknya berguna untuk masyarakat dan mampu mengamalkan ilmu untuk umat. "Berguna macam-macam, salah satunya dia harus bisa mengisi masjid karena di lingkungan saya krisis imam, krisis khatib," ujar Zaki berharap.
Tak sampai di situ, Zaki bahkan berharap anaknya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. "Saya inginnya dia sekolah di luar negeri, ke Mesir, al-Azhar. Sekolah lebih tinggi dari orang tuanya. Nanti kembali lagi ke Indonesia untuk mengamalkan ilmunya," ujar dia.
Zaki pun mengakui ada perubahan setelah anaknya mondok. Ketika pulang ke rumah, anaknya disebut Zaki makin gesit, makin tertib, dan makin takzim kepada orang tuanya.
"Dia ingin masuk pesantren dulu karena ingin belajar ilmu agama lebih banyak daripada di tempat umum," kata Zaki.
Kegembiraan Zaki paripurna setelah kalangan santri dan pondok pesantren pada peringatan Hari Santri pada 22 Oktober 2019 mendapatkan kado istimewa dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren menjadi Undang-Undang (UU). UU yang disahkan melalui Rapat Paripurna DPR yang berlangsung 24 September 2019.
UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi sejarah baru bentuk pengakuan Negara terhadap pesantren yang eksistensinya sudah ada berabad-abad silam, jauh sebelum Tanah Air ini merdeka. Tidak hanya pengakuan, UU tentang Pesantren juga bagian dari afirmasi dan fasilitasi kepada dunia ponpes.
UU yang berpihak kepada kalangan ponpes itu berawal dari sederet keresahan yang dialami oleh kalangan pesantren. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) selama ini belum mengakomodasi aspirasi dan kearifan lokal pesantren sebagai lembaga pendidikan yang jumlahnya—menurut data Kementerian Agama pada 2018—kini menembus angka 28.194 unit.
Lewat UU tentang Pesantren, pondok pesantren kini diakui pemerintah dan kurikulum pendidikannya tidak ada masalah di Tanah Air. Apalagi, sejak dirintis dan didirikan berabad-abad pondok pesantren memang ikut andil dalam perjuangan sebelum hingga masa kemerdekaan di mana perjuangan dimotivasi tokoh ulama, kiai, tokoh agama, termasuk ponpes. Sebut saja dua tokoh pahlawan nasional pendiri dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Pada era modern, jebolan pesantren juga mampu berkiprah dan berkontribusi besar bagi bangsa, mulai dari Buya HAMKA, Din Syamsuddin, Hidayat Nur Wahid, hingga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ma'ruf Amin yang menjadi presiden dan wakil presiden.
Bahkan, sebelum diakui pemerintah lewat UU tentang Pesantren, para santri sudah lebih dulu berkarier dalam berbagai bidang di lingkup masyarakat luas. "Yang diajari di ponpes banyak hal, khususnya yang berkenaan dan berhubungan dengan masyarakat. Selain diajari ilmu keagamaan dan lmu umum tentunya," kata Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, KH Doktor Sofwan Manaf, MSi membuka percakapan dengan Republika.co.id, Kamis (24/6).
Ia berkata, ponpes dominan memberikan pendidikan karakter. Jadi, ketika pemerintah mengusung pendidikan karakter, Kiai Sofwan berkata, sebenarnya ponpes sudah lebih dulu dan memberikan porsi lebih dominan dalam pelajarannya.
Dijelaskan kiai jebolan KMI Pondok Modern Gontor itu, keunggulan pondok pesantren adalah memberikan porsi pelajaran lebih luas kepada santri, yakni pendidikan kurikulum nasional, kurikulum agama, dan pengasuhan atau ekstrakulikuler. "Santri karena tinggal di asrama, jadi bukan sekadar sekolah dari pagi, Dzuhur sampai Maghrib saja. Tapi malam juga Tahajud dan sebagainya," ujar Kiai Sofwan.
Di ponpes, para santri diajarkan untuk bersosialisasi dengan lingkup masyarakat kecil sebelum kembali ke masyarakat yang lebih besar. Ia berkata, yang diajarkan di pesantren...