Jumat 18 Jun 2021 05:27 WIB

Pendidikan Dipajaki, Akankah Masa Depan Indonesia Mati?

Pajak pendidikan dinilai sebagai sistem kapitalis yang bertentangan dengan Pancasila.

Ilustrasi Siswa Madrasah
Foto:

Wacana PPN pada sektor pendidikan yang menjadi bola panas itu pun sampai ke telinga Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Selasa (15/6), Nadiem mengatakan, kementeriannnya akan mengkaji wacana pemerintah yang akan mengenakan PPN pada sektor pendidikan. "Mengenai wacana penambahan pajak PPN untuk sekolah, itu tentunya akan kami kaji," ujar Nadiem.

Nadiem mengatakan, Kemendikbudristek akan mendalami dan melihat situasi yang mengiringi wacana yang tertuang dalam draf RUU KUP itu. Ia pun berjanji akan menyampaikan gelombang protes terkait pajak pendidikan ke internal pemerintah pusat. "Pesan ini akan kami bawa ke dalam internal pemerintahan pusat," ujar Nadiem.

Untuk diketahui, pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang dan jasa. Berdasarkan rancangan revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa bebas PPN. “Jenis jasa yang tidak dikenai PPN, yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, (jasa pendidikan) dihapus seperti pendidikan sekolah, seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus."

Secara total, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN. Dengan demikian, hanya tersisa enam jenis jasa kategori bebas PPN dari sebelumnya 17 jenis jasa. Adapun tarifnya, pemerintah saat ini juga berencana untuk menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen. "Tarif PPN adalah 12 persen," tulis Pasal 7 Ayat 1 draf RUU KUP.

Pada kategori barang, ada dua kelompok yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Keduanya yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara; dan barang kebutuhan pokok.

Permintaan pemerintah mencabut penerapan pajak pendidikan dari RUU KUP datang dari anggota Komisi X DPR RI, Prof Zainuddin Maliki. Ia juga menyindir keagresifan pemerintah dalam menaikkan sumber dana negara dari pajak.

“Pemerintah tampak berambisi untuk menerapkan pajak progresif terhadap pendidikan. Dalam Pasal 4A Ayat (3) draf RUU KUP tersebut, pendidikan dihapus dari jenis jasa yang tidak dikenai PPN yang berarti pendidikan sengaja dijadikan obyek pajak baru,” ujar dia dalam keterangan yang diterima Republika, Selasa (15/6).

Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dari Fraksi PAN itu menegaskan, pajak di dunia pendidikan harus ditolak. Pemerintah pun seharusnya menyediakan pendidikan gratis, bukan justru memungut pajak pendidikan.

Politikus PAN itu berkata, penerapan pajak pendidikan juga sangat mengesankan sistem kapitalis yang jelas bertentangan dengan Pancasila. Berdasarkan fakta lapangan, di satu sisi masyarakat tidak akan mendapat layanan pendidikan yang lebih baik dari pada layanan yang diberikan pemerintah pada 2021. "Pasalnya, pagu anggaran pendidikan tahun 2022 dikurangi lebih Rp 10 triliun, dari Rp 83,5 triliun pagu 2021, menyisakan Rp 73,08 triliun pada pagu indikatif 2022," kata legislator PAN asal Dapil Jatim X Gresik-Lamongan itu. 

"Kalau tidak bisa memberi layanan lebih baik, jangan pula menambah beban pajak pendidikan kepada rakyat," kata dia.

Ketidaksetujuan pengenaan pajak terhadap pendidikan juga datang dari Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) Dr Toni Toharudin. Ia menilai, wacana pemberlakukan pajak tersebut akan memberatkan sekolah dan madrasah di Indonesia. Ia mengungkapkan, ada sekitar 270 ribu lebih total sekolah di Indonesia. Selain itu, ada banyak juga sekolah milik individu atau swasta yang bahkan keuangannya tidak stabil.

“PPN dalam dunia pendidikan sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kita tidak mendukung sekolah pada arah komersialisasi,” kata Toni saat menjadi pemateri dalam program Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) angkatan ke-2 yang digagas Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dan PT Paragon Technology and Innovation, Selasa (15/6).

photo
Kepala Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (BAN-S/M Kemendikbudristek) Dr Toni Toharudin. - (tangkapan layar)

Menurut dia, sekolah tidak layak untuk memberikan income kepada pemerintah, apalagi banyak sekolah yang belum memenuhi melaksanakan pendidikan sesuai dengan standar. Toni berkata, pemerintah perlu melihat lebih luas dan lebih komprehensif dalam menerapkan pajak jangan sampai mengarah pada komersialisasi pendidikan. “Ini sangat berat bagi sekolah dan madrasah. Jadi, menurut saya, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan jangan menerapkan PPN pendidkan. PPN pendidikan justru menghambat akselerasi dunia pendidikan dengan beban yang diberikan kepadanya,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement