REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia, Agus Surono, menilai pasal penghinaan presiden masih diperlukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, Agus melihat ada perbedaan di dalam pasal soal penghinaan presiden di dalam RUU KUHP saat ini.
Agus mengatakan bedanya, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kini telah berubah menjadi delik aduan. "Jadi korban itu bisa mengadukan dan kemudian baru bisa diproses kalau nggak ya nggak bisa," kata Agus dalam diskusi daring, Ahad (13/6).
Sebelumnya dalam pasal 154 KUHP polisi bisa langsung memproses dugaan tindakan penghinaan presiden. Setelah diubah ke dalam delik aduan, kini polisi tidak bisa langsung memproses.
"Sebenarnya ini untuk menghindari adanya hal-hal yang sifatnya sumir tadi, dalam artian kalau presiden tidak merasa perlu melaporkan hal ini ya nggak perlu, kan urusan presiden banyak," ucapnya.
Dirinya juga setuju perlu adanya kejelasan definisi kritik dan penghinaan di dalam RUU KUHP. Ia menegaskan masyarakat diperbolehkan menyampaikan kritik, hal itu juga telah dijamin oleh konstitusi.
"Tentu kritik yang sifatnya membangun, yang dikritik apakah orangnya? tidak, kebijakannya," ucapnya.