Jumat 11 Jun 2021 19:11 WIB

Dalih Pajak Kebutuhan Pokok demi Keadilan Rakyat

Pemerintah disarankan lakukan reformasi pajak ketimbang mempajaki kebutuhan pokok.

Pedagang beraktivitas di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Kamis (10/6). Pemerintah berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako) dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto:

Di balik rencana pengenaan pajak barang kebutuhan sehari-hari dan jasa, termasuk jasa pendidikan, terpapar fakta mengenai rasio perpajakan atau tax ratio yang terus menurun. Rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB)  mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Tercatat sebesar 10,37 persen pada 2016, lalu merosot ke level 9,89 persen pada 2017, naik tipis ke 10,24 persen pada 2018, pada 2019 kembali turun ke posisi 9,76 persen dan merosot menjadi 8,33 persen pada 2020

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan rasio perpajakan mencakup rasio pajak dan bea cukai. "Tax ratio dalam lima tahun terus menurun, ini yang membuat kami harus berpikir keras mengenai bagaimana membuat perpajakan kita itu semakin sesuai dengan struktur perekonomiannya. Kita tahu ekonomi tumbuh dan pertumbuhan sektoral beda-beda," ujarnya.

Febrio menuturkan pemerintah menghadapi sejumlah tantangan dalam meningkatkan rasio pajak meliputi, basis pajak belum terungkap sepenuhnya. Selain itu, kepatuhan pembayaran pajak belum optimal.

"Dari sisi lain, insentif pajak masih dibutuhkan pada beberapa sektor ekonomi atau kondisi tertentu," ucapnya.

Tahun depan, pemerintah menargetkan rasio perpajakan sebesar 8,37 persen sampai 8,42 persen terhadap PDB. Angka itu meningkat dari target tax ratio pada tahun ini sebesar 8,18 persen dari PDB.

Apabila mengeluarkan komponen bea dan cukai, maka rasio pajak saja cenderung stagnan dalam lima tahun terakhir. Pada 2016, rasio pajak tercatat sebesar 8,91 persen dari PDB dan 8,47 persen pada 2017.

Selanjutnya, rasio pajak masih berada level 8,85 persen dari PDB pada 2018, lalu sedikit turun menjadi 8,42 persen pada 2019. Tahun lalu, rasio pajak menurun menjadi 7,7 persen dari PDB.

"Tren rasio pajak relatif konstan dari 2016-2019 dengan sedikit penurunan. Ini juga yang akan kami lihat sama dengan logika perpajakan keseluruhan, bagaimana caranya agar pertumbuhan penerimaan pajak itu semakin mencerminkan kondisi ekonomi dan struktur ekonomi," ucapnya.

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai saat ini masih banyak orang yang belum taat pajak menjadi salah satu penyebab kenapa tax ratio di Indonesia relatif rendah di Indonesia.

“Makanya pada 2016, pemerintah mengeluarkan kebijakan tax amnesty, yang salah satu tujuannya untuk memberikan pengampunan bagi para wajib pajak yang selama ini tidak tertib dalam membayar dan melaporkan pajaknya,” ujar Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet, ketika dihubungi Republika.

Menurutnya setelah kebijakan tax amnesty dijalankan maka terjadi perubahan peningkatan dari kepatuhan pajak, meskipun pada level yang terbatas. Selain itu, belajar dari program tax amnesty juga, masih ada potensi dari pajak pada penghasilan di luar negeri belum tergali, dilihat masih relatif kecilnya nilai repatriasi yang didapatkan dari program tersebut.

Hal lain yang menjadikan, menurutnya, ekonomi Indonesia dalam proporsi sektor informal masih mendominasi, sehingga relatif sulit untuk memajaki sektor informal secara optimal. “Kemudian, hal terakhir yang tidak kalah penting, alasan rendah tax ratio yaitu pertumbuhan ekonomi yang bergerak kisaran lima persen dalam lima tahun terakhir, sehingga pemerintah tidak bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari aktivitas perekonomian,” ucapnya.

Ke depan pihaknya menyarankan agar pemerintah melakukan reformasi perpajakan lanjutan untuk menambah penerimaan negara. Ia namun tidak sepakat jika kemudian reformasi pajak memasukkan barang sembako dan jasa pendidikan menjadi barang kena pajak.

“Pertama kita tahu, bahwa barang tersebut sifatnya basic needs yang seharusnya peran pemerintah ialah membantu warganya untuk penyediaan tersebut, apapun kelompok golongannya. Kedua, masih ada alternatif sumber yang bisa digali untuk meningkatkan rasio pajak, seperti misalnya pajak penghasilan non karyawan, PPN untuk barang tambang, ataupun jasa lain di luar pendidikan,” ungkapnya.

photo
Pedagang menata daging sapi yang dia jual di Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (10/6/2021). Kementerian Keuangan menyatakan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk soal penerapannya pada bahan kebutuhan pokok atau sembako masih menunggu pembahasan lebih lanjut setelah pemerintah berencana menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak. - (ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement