Kamis 10 Jun 2021 17:27 WIB

Komodifikasi Perempuan: Alat Tukar Terlaris Sepanjang Masa

Citra perempuan sampai pada hari ini masih berkisar subordinat dibandingkan laki-laki

Ilustrasi Muslimah
Foto:

Oleh : Mega Waty, Ketua Umum PP Wanita Perisai; Founder sekaligus Direktur Program Indonesia Care

Di samping itu, menikah muda juga menghambat pendidikan. Dari persentase yang ada, dilaporkan persentase perempuan yang menikah muda lebih banyak mengalami putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal tersebut tentu karena konstruksi peran perempuan setelah menikah di masyarakat harus diterapkan. Yaitu, berfokus utama pada sumur, kasur, dapur.

Kemudian, yang disoroti dalam sinetron ini adalah kekerasan seksual yang dialami oleh si pemeran utama. Bahwa ketika pernikahan tersebut terjadi, tujuannya adalah untuk memperoleh keturunan. Karena itu, hubungan suami istri harus dilakukan walaupun si perempuan tidak menginginkan dan menolak.

Selanjutnya, pemaksaan hubungan suami istri adalah salah satu bentuk kekerasan seksual atau dapat dikatakan sebagai pemerkosaan. Bahwasanya perlu diingat, pemerkosaan juga dapat terjadi di dalam sebuah hubungan perkawinan (marital rape). Di mana ketika hubungan intim tidak dikehendaki oleh salah satu dari pasangan suami istri, namun tetap dilakukan biasanya disertai dengan pemaksaan. Dalam sinetron ini, tentu si pemeran utama harus melayani suaminya dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan tadi.

Suka atau tidak suka dan tanpa tawar-menawar. Sisi ironis yang selanjutnya adalah sosok istri pertama dan kedua yang diperankan selalu berbuat jahat terhadap si istri ketiga tadi. Masyarakat awam tentu tidak akan ada habisnya dalam mencaci tokoh-tokoh tersebut.

Masyarakat akan beranggapan bahwa perempuan itu adalah perempuan dengan hati iblis, jahat dan culas. Sementara, tokoh laki-laki yang menjadi akar permasalahannya cenderung tidak masuk di dalam daftar caci masyarakat. Mereka melupakan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi jika laki-laki itu tidak memiliki paradigma buruk terhadap perempuan dan ego yang tinggi terhadap relasi kuasa dominan yang dimilikinya.

Televisi sebagai media penyiaran memiliki peran sentral dalam mengedepankan tayangan harusnya dapat mengedukasi dan menginformasikan sesuatu. Termasuk pada persoalan perempuan yang hingga kini masih berkisar pada permasalahan bias gender karena pemahaman masyarakat yang sudah telanjur terpatri oleh budaya patriarki yang berkembang.

Dalam bukunya, Ishadi SK mengatakan sebagai media massa yang menggunakan frekuensi publik, televisi sebagai media penyiaran seharusnya lebih bijak dalam menayangkan isi siaran. Namun pada realitanya televisi sebagai industri media justru memainkan strategi “profit oriented” yang dilakukan dengan cara mengkomodifikasi segala bentuk tayangan.

Vincent Mosco menjelaskan bahwa hal tersebut dapat dikatakan sebagai komodifikasi isi atau konten dalam sebuah media dikarenakan komodifikasi tersebut lahir karena ada transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Artinya, konstruksi perempuan sebagai sosok manusia kelas dua yang tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri, juga citra buruk; diskriminatif terhadap perempuan langgeng menjadi komoditas yang tinggi bagi publik.

Rating ditukar dengan kepuasan masyarakat yang merasa bahwa tontonan tersebut adalah hiburan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal tersebut terjadi karena masyarakat tidak juga bangun dari mimpi kuasa patriarki yang selalu meninabobokan kita pada realitas yang ada. Realitas yang dibentuk pada konstruksi pikir kolektif yang tidak juga tercerahkan.

Tayangan televisi pun tidak bijak dalam memberikan fungsi edukasi dan informasinya. Justru sebaliknya, tayangan televisi menyajikan semakin berkembangnya konstruksi pikir kolektif yang sesat dan tidak tercerahkan. Hal tersebut hanya demi sebuah keuntungan.

Baiknya, lembaga penyiaran atau yang mengawasi tayangan-tayangan televisi lebih ketat lagi dalam melakukan fungsi pengawasannya. Pun kepada stasiun televisi atau media massa lainnya harus menjalankan salah satu fungsi edukatifnya terhadap masyarakat luas.

Biar bagaimanapun masyarakat kita masih cukup jauh untuk diberikan keseragaman pikir tentang konstruksi yang harus dihancurkan tersebut. Konstruksi budaya patriarki yang melenggang langgeng ratusan tahun lamanya. Itulah tanggung jawab kita bersama.

*Penulis adalah Ketua Umum PP Wanita Perisai; Founder sekaligus

DIREKTUR Program Indonesia Care

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement