Rabu 09 Jun 2021 23:31 WIB

Peringatan Dini Tsunami, BPPT Perkuat Sinergi Pentahelix

Upaya mitigasi bencana seperti tsunami sudah sepatutnya diterapkan di Indonesia.

Rep: Citra Listiyarini/ Red: Bilal Ramadhan
Pengendara sepeda motor melintas di dekat tambatan perahu di Pantai Teluk Palu, Sulawesi Tengah, Senin (26/4/2021). Pemerintah dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan mitigasi bencana dengan memasang papan peringatan kawasan rawan tsunami di sejumlah titik di pantai yang telah diterjang lima kali tsunami sejak tahun 1908 itu.
Foto: Antara/Basri Marzuki
Pengendara sepeda motor melintas di dekat tambatan perahu di Pantai Teluk Palu, Sulawesi Tengah, Senin (26/4/2021). Pemerintah dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan mitigasi bencana dengan memasang papan peringatan kawasan rawan tsunami di sejumlah titik di pantai yang telah diterjang lima kali tsunami sejak tahun 1908 itu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia berada di zona “Ring of fire” karena letak geografisnya berada di antara pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Jalur yang dilalui pertemuan lempeng inilah yang menjadi zona rawan gempa di Indonesia.

Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, daerah padat penduduk seperti mayoritas Pulau Sumatera, sebagian besar Pulau Jawa, Bali, NTT, Sulawesi, hingga Ambon merupakan daerah yang rawan akan terjadinya gempa bumi, hanya sebagian kecil Pulau Jawa bisa dikatakan aman dari ancaman gempa.

Melihat dari kondisi tersebut serta histori kebencanaan, upaya mitigasi bencana terintegrasi sudah sepatutnya diterapkan di Indonesia. Pengalaman bencana besar di Tahun 2018 yang menerpa Lombok, Palu, dan Selat Sunda menjadi wake up call bagi semua pihak.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pun mengeluarkan Perpres No. 93 Tahun 2019  tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.

Melalui Perpres ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diberikan amanah untuk mengembangkan sistem peringatan dini tsunami atau yang lebih dikenal dengan Teknologi InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System).

Teknologi kebencanaan ini pun menggunakan berbagai instrumen sesuai dengan kebutuhan lokasi, seperti Teknologi Buoy (InaBuoy), Teknologi Kabel Optik Bawah Laut (InaCBT - Cable Based Tsunameter), Teknologi Coastal Acoustic Tomografi (InaCAT), hingga Pemodelan berbasis Kecerdasan Artifisial.

Kepala BPPT Hammam Riza saat membuka Media Gathering bertemakan Teknologi Deteksi Tsunami Berbasis Buoy, Kabel Serat Optik, dan Akustik Tomografi mengatakan BPPT sejak Tahun 2019 telah membangun tiga teknologi tersebut dalam rangka mendukung InaTEWS Nasional BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika).

Dirinya mengatakan sensor tsunami dari InaTEWS BPPT dapat mengirimkan data secara berkesinambungan kepada BMKG dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) untuk kemudian disebarluaskan kepada masyarakat sebagai upaya mitigasi bencana tsunami di Indonesia.

Hammam mengatakan BPPT telah menyusun grand design peta jalan teknologi mitigasi dengan mengoperasikan InaBuoy di 13 lokasi, InaCBT di 7 lokasi, InaCAT di 3 lokasi dan didukung dengan pengolahan kecerdasan artifisial. Semua Teknologi InaTEWS ditargetkan akan beroperasi penuh pada tahun 2024.

Kepala BPPT berharap kegiatan media gathering ini dapat menjadi wadah untuk berbagi ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta menjadi ajang membangun sinergi antar BPPT dan Pemerintah Daerah, Institusi Riset dari dalam dan luar negeri, asosiasi dan lembaga sosial masyarakat, industri/swasta, dan media, sehingga Program Nasional InaTEWS dapat terlaksana dengan konsep pentahelix.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement