REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Muhammad Tanziel Aziezi, menganggap pemerintah gagal memahami maksud penghapusan pasal penghinaan Presiden oleh putusan Mahkamah Konsitusi (MK). Ia menyayangkan pasal serupa masih diajukan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pria yang diakrab siapa Azhe itu mengakui pengaturan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP berbeda dengan aturan di KUHP yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Penekanannya adalah mengubah pasal tersebut menjadi delik aduan yang mensyaratkan adanya laporan hanya dari presiden dan wakil presiden untuk bisa diproses hukum.
"Berbeda dengan pasal di KUHP yang dirumuskan dengan delik laporan, sehingga siapapun bisa melaporkan hal tersebut, tidak harus presiden dan/atau wakil presiden," kata Azhe kepada Republika, Selasa (8/6).
Namun Azhe menyindir pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tidak menangkap maksud penghapusan pasal tersebut oleh MK. Ia menekankan MK menghapus pasal tersebut bukan karena bentuknya adalah delik laporan, sehingga bisa diselesaikan dengan mengubah menjadi delik aduan.
"Tapi, karena sudah tidak relevan dengan demokrasi yang saat ini diterapkan Indonesia di mana kritik harus diperbolehkan sebagai bagian kebebasan berekspresi, termasuk kepada pejabat publik atau pemerintahan," tegas Azhe.
Azhe merujuk pendapatnya dengan paragraf 38 Komentar Umum No. 34 ICCPR di mana pejabat publik adalah objek yang sah untuk dikritik dalam jabatannya dan orang tidak boleh dipidana karena melakukan kritik tersebut. Komentar umum No. 34 ICCPR adalah tafsir atau penjelasan otoritatif dari Badan HAM PBB terhadap Pasal 19 ICCPR tentang Hak Atas Kebebasan Berekspresi
"Perlu diingat bahwa kita sudah meratifikasi ICCPR dengan UU No. 12 Tahun 2005, sehingga ICCPR sudah menjadi aturan yang sah berlaku di Indonesia dan aturan-aturan dalam komentar umum ICCPR di atas mengikat pula bagi Indonesia," ujar Azhe.
Diketahui, RKUHP memuat ancaman pidana maksimal 4,5 tahun penjara bagi orang-orang yang menghina kepala negara melalui media sosial. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 218 ayat 1 dan Pasal 219 yang bunyinya:
Pasal 218 (1): Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak kategori IV.
Pasal 219: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.