Rabu 02 Jun 2021 20:07 WIB

Bisakah Garuda Indonesia Diselamatkan dari Kebangkrutan?

Pemerintah punya empat opsi penyelamatan Garuda, salah satunya likuidasi.

Garuda Indonesia
Foto: AMPELSA/ANTARA FOTO
Garuda Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Nursyamsi, Rahayu Subekti

Bloomberg pada akhir pekan lalu menerbitkan laporan yang menggambarkan kondisi kritis maskapai nasional Garuda Indonesia. Terungkap rencana restrukturisasi perusahaan yakni mengurangi jumlah pesawat yang dioperasikan hingga 50 persen untuk bertahan karena terdampak pandemi Covid-19.

Baca Juga

"Kami harus melalui restrukturisasi yang komprehensif," kata Irfan dalam sambutanya kepada staf pada 19 Mei 2021 dalam sebuah rekaman yang didengar Bloomberg.

Dalam rekaman tersebut, Irfan mengatakan saat ini Garuda Indonesia memiliki 142 pesawat. Dalam perhitungan awalnya, ada kemungkinan Garuda Indonesia akan beroperasi dengan jumlah pesawat tidak lebih dari 70 armada.

Tidak hanya pengurangan jumlah pesawat, Irfan sebelumnya juga mengungkapkan rencana pengurangan pegawai. Garuda Indonesia menawarkan program pensiun dini secara sukarela terhadap karyawan yang telah memenuhi kriteria.  

"Kebijakan ini menjadi penawaran terbaik yang dapat kami upayakan terhadap karyawan di tengah situasi pandemi saat ini, yang tentunya  senantiasa mengedepankan kepentingan bersama seluruh pihak, dalam hal ini karyawan maupun perusahaan," ungkap Irfan.

Irfan memastikan, seluruh hak pegawai yang akan mengambil program tersebut akan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. Begitu juga sesuai dengan kebijakan perjanjian kerja yang disepakati antara karyawan dan perusahaan.

Dia mengakui, keputusan tersebut merupakan langkah berat yang harus ditempuh perusahaan.

"Namun opsi ini harus kami ambil untuk bertahan di tengah ketidakpastian situasi pemulihan kinerja industri penerbangan yang belum menunjukan titik terangnya di masa pandemi Covid-19," jelas Irfan.

Dalam upaya penyelamatan Garuda, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir telah memiliki empat opsi strategi dalam menyelamatkan PT Garuda Indonesia (Persero). Pemerintah melakukan benchmarking atau penolakukuran dalam menetapkan empat opsi tersebut.

Dari dokumen yang diperoleh Republika, berdasarkan hasil penolakukuran dengan apa yang telah dilakukan pemerintah negara lain, terdapat empat opsi yang dapat diambil untuk Garuda saat ini.

Opsi pertama terus mendukung Garuda. Pemerintah akan terus mendukung Garuda melalui pemberian pinjaman atau suntikan ekuitas. Opsi ini merujuk pada praktik restrukturisasi pemerintah Singapura terhadap salah satu penerbangan nasional negara setempat yakni, Singapore Airlines.

"(Opsi ini) berpotensi meninggalkan Garuda dengan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi yang menantang di masa depan," tulis dokumen tersebut.

Opsi kedua menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda. Pemerintah menggunakan proses legal bankruptcy untuk merestrukturisasi kewajiban Garuda misalnya, utang, sewa, dan kontrak kerja. Opsi yurisdiksi yang akan digunakan U.S Chapter 11, foreign jurisdiction lain, atau PKPU.

"Tidak jelas apakah UU kepailitan Indonesia mengizinkan restrukturisasi," bunyi dokumen tersebut.

Opsi ini juga berisiko restrukturisasi berhasil memperbaiki sebagian masalah seperti debt dan leaser, tetapi tidak memperbaiki masalah yang mendasarinya seperti culture dan legacy. Contoh kasus yang menjadi rujukan ialah Latam Airlines milik Malaysia.

Ospi ketiga, merestrukturisasi Garuda dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Untuk opsi ini, Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi. Di saat bersamaan, mulai mendirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru yang akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda dan menjadi national carrier di pasar domestik.

"Untuk dieksplorasi lebih lanjut sebagai opsi tambahan agar Indonesia tetap memiliki national flag carrier. Estimasi modal yang dibutuhkan 1,2 miliar dolar AS," tulis dokumen tersebut.

Opsi keempat, Garuda akan dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan mengisi kekosongan. Dalam opsi ini, pemerintah mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah.

"Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier," lanjutnya

Menurut Erick, kondisi yang dialami PT Garuda Indonesia (Persero) merupakan persoalan yang juga dialami seluruh maskapai dunia akibat tekanan pandemi. Erick menyebut industri penerbangan seluruh dunia terdampak sangat parah akibat penurunan jumlah pergerakan orang selama pandemi.

Erick mencatat jumlah rata-rata kapasitas penumpang di bandara seluruh Indonesia hanya sebanyak 15 persen, setelah sempat naik ke angka 32 persen beberapa waktu lalu. Tak hanya industri penerbangan, moda transportasi lain seperti kereta api pun mengalami tekanan serupa yang hanya mampu mencapai 15 persen sampai 20 persen dari total kapasitas.

"Indutri penerbangan mau yang punya pemerintah atau swasta sangat teddampak. Tentu kita tidak boleh menutup diri atau berdiam diri, kita harus melakukan terobosan, harus melakukan perbaikan, tidak mungkin didiamkan," ujar Erick saat jumpa pers di kantor Kementerian BUMN, Rabu (2/6).

Erick menyebut pemimpin zolim adalah pemimpin yang mendiamkan, pemimpin buruk ialah pemimpin yang tidak melakukan apa-apa. Sementara pemimpin terbaik ialah pemimpin yang mengambil keputusan dan memperbaiki kesalahannya.

Tak hanya menyiapkan empat opsi strategi dalam menyelamatkan Garuda. Erick mengatakan manajemen Garuda saat ini juga terus melakukan negoisasi ulang dengan lessor.

"Ingat, ada dua kategori lessor, lessor yang sudah terbukti kerja sama dengan direksi Garuda yang melakukan tindak pidana korupsi tapi ada juga lessor yang baik, ketika kita lakukan kerja sama tanpa feedback, tapi itu pun dengan kondisi hari ini kemahalan, jadi kita negoisasi ulang," lanjut Erick.

Erick mengaku bersyukur dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat menopang Garuda dalam kondisi saat ini. Erick mengatakan Indonesia memiliki pasar domestik yang besar bagi industri penerbangan mengingat sebagai negara kepulauan. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain seperti Singapura dan UEA yang amat bergantung pada pasar penerbangan internasional.

"Alhamdulillah Indonesia engara kepulauan, jadi tidak mungkin orang menuju satu pulau ke pulau lain pakai kereta. Opsinya cuma dua, kapal laut atau penerbangan," ungkap Erick.

Oleh karenanya, Erick mengaku sudah meminta manajemen Garuda untuk memfokuskan diri pada pasar domestik ketimbang penerbangan internasional. Garuda, ucap Erick, harus memperbaiki model bisnis ke depan pascapandemi.

"Sudah kita bicarakan pada November-Januari sebelum pandemi kepada direksi, kita sudah bilang fokus domestik. Kita ini bukan bisnis gaya-gayaan, wah terbang ke luar negeri, gaya," ucap Erick.

Erick menilai, jumlah penumpang domestik berkontribusi jauh lebih besar ketimbang penumpang mancanegara bagi Garuda. Sebelum pandemi, kata Erick, 78 persen atau Rp 1.400 triliun merupakan penumpang domestik. Sementara penumpang mancanegara hanya berkontribusi 22 persen atau Rp 300 triliun.

"Kalau kita berbisnis, jelas ini marketnya," kata Erick.

photo
Karikatur Pesawat Tua - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement