REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainal Arifin Husein menegaskan, pihaknya mendukung nama Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol). Menurutnya, minol lebih banyak menimbulkan dampak buruk ketimbang manfaatnya.
"Jadi, larangan itu menjadi sebuah judul. Kemudian merujuk pada norma agama, maka semua agama melarang minuman beralkohol," ujar Zainal dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (27/5).
Menurut MUI, semua agama melarang konsumsi minol karena minuman tersebut bersifat adiktif dan menimbulkan dampak negatif. Kecuali, penggunaan minol dalam acara adat atau budaya tertentu.
"Ada pengecualian bagi peredaran dan konsumsi minol, seperti untuk ritual adat tertentu yang mengharuskan minol, warga masyarakat pengguna minol, dan hanya dijual di lokasi-lokasi tertentu," ujar Zainal.
Masyarakat, disebut MUI, juga mendukung penamaan RUU Larangan Minol ketimbang pengendalian atau pengaturan. Apalagi, minol masuk ke dalam kategori narkoba, psikotropika, dan zat adiktif (Napza).
"Penggunaan Napza menjurus pada timbulnya ketergantungan atau adiktif, yaitu suatu pola malaadaptif dan menimbulkan sindrom yang secara klinis. Serta disertai kesulitan dalam fungsi individu," kata Zainal.
Di samping itu, ia menilai pengaturan atau regulasi terkait minol saat ini belum efektif dalam pengimplementasiannya. Untuk itu, MUI mendorong agar nantinya undang-undang tersebut mengutamakan perihal larangan minol.
"Langkah lebih tegas harus ditempuh dengan larangan dengan pengecualian. Untuk itu, judul RUU ini tepat menggunakan nomenklatur larangan minol, bukan pengendalian minol," ujar Zainal.