Selasa 18 May 2021 18:10 WIB

Jika Telanjur Terima Dosis Awal Batch CTMAV547 AstraZeneca

Skema vaksinasi bagi penerima dosis awal batch CTMAV547 AstraZeneca sedang dirancang.

Vaksinator bersiap melakukan vaksinasi menggunakan vaksin Covid-19 Astrazeneca. Pemerintah melakukan penghentian sementara vaksin AstraZeneca batch CTMAV547.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Vaksinator bersiap melakukan vaksinasi menggunakan vaksin Covid-19 Astrazeneca. Pemerintah melakukan penghentian sementara vaksin AstraZeneca batch CTMAV547.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Rr Laeny Sulistyawati, Rizky Suryarandika

Masyarakat diminta tidak khawatir terkait penghentian sementara penggunaan dan distribusi vaksin AstraZeneca batch CTMAV547. Langkah ini diambil untuk memberi ruang bagi BPOM melakukan uji toksisitas dan sterilitas setelah menerima laporan adanya dugaan penerima vaksin yang meninggal dunia.

Baca Juga

"Saya meminta masyarakat tidak perlu khawatir. Penghentian ini merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah untuk memastikan keamanan vaksin ini," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers, Selasa (18/5).

Wiku menambahkan, masyarakat perlu memahami bahwa produk vaksin yang disebut hanyalah AstraZeneca batch CTMAV547. Sementara, vaksin AstraZeneca dengan nomor batch lain masih tetap digunakan.

Berdasarkan keterangan Kementerian Kesehatan, jumlah vaksin batch CTMAV547 yang diterima Indonesia sebanyak 448.480 dosis, sebagai bagian dari 3.852.000 dosis vaksin AstraZeneca yang diterima Indonesia melalui skema Covax Facility/WHO. Batch ini sudah didistribusikan untuk TNI dan sebagian ke Provinsi DKI Jakarta dan Sulawesi Utara.

Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana nasib masyarakat yang sudah telanjur menerima suntikan vaksin AstraZeneca batch CTMAV547 dosis pertama? Seperti kita tahu, untuk mencapai kekebalan individu, diperlukan dua dosis dengan interval suntikan 12 minggu atau 3 bulan. Apakah suntikan dosis kedua bisa diberikan dengan produk vaksin lainnya?

Wiku menjelaskan bahwa sejumlah penelitian di dunia telah menyimpulkan bahwa pencampuran dua jenis vaksin bisa saja dilakukan. Artinya, pemberian dua dosis vaksin Covid-19 dari merek berbeda bisa saja dilakukan. Tapi, pemerintah belum memutuskan untuk menempuh opsi ini terhadap warga yang sudah menerima vaksinasi dosis pertama dengan AstraZeneca batch CTMAV547.

"Terkait jenis vaksin kedua, sampai saat ini sudah ada beberapa studi di dunia bahwa mencampurkan dua jenis vaksin dapat dilakukan. Namun, untuk Indonesia sampai saat ini belum ada agenda terkait ini," kata Wiku.

Pemerintah masih perlu mematangkan skema vaksinasi bagi penerima dosis pertama yang produk vaksinnya dihentikan. Indonesia, kata Wiku, memilih untuk tetap berhati-hati dan selalu mengawasi seluruh potensi ikutan pascaimuniasi.

"Bukan karena efek-efek negatif yang ditemukan di lapangan langsung berkaitan dengan vaksin yang diberikan, namun demi survailans dan upaya monitoring," kata Wiku.

Dalam berbagai laporan dugaan kejadian ikutan pascaimunisasi, Wiku menekankan bahwa vaksinasi Covid-19 tidak bisa mengurangi peluang sakit atau kematian akibat faktor lain yang sudah dimiliki penerima vaksinasi.

Juru Bicara dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Iris Rengganis, saat dihubungi Republika, mengatakan hanya vaksin AstraZemeca batch CTMAV547 yang diteliti. Iris menegaskan, vaksin AstraZeneca batch lain juga dalam pengawasan.

Sejauh ini, IDI mendapatkan laporan kejadian di Manado, Bali, Surabaya yang diduga akibat vaksin AstraZeneca, tapi ternyata sejauh ini baik-baik saja. Tak hanya vaksin AstraZeneca, ia menyebutkan vaksin merek lain, seperti Sinovac dan Sinopharm, juga harus tetap dalam pengawasan.

"Semua vaksin harus diadakan pengawasan karena ini semua vaksin baru apalagi pakai platform baru," katanya.

Iris mengatakan, menyebutkan komponen yang paling penting saat pengujian terhadap vaksin AstraZeneca adalah autopsi ke korban meninggal pascavaksinasi. Ia menambahkan, pengujian toksisitas dan sterilitas ini merupakan standar dari organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) jika ada laporan KIPI serius. Setelah hasil pengujian selesai, pihaknya berharap pemerintah bisa terbuka transparan mengungkapnya.

"Itu akan sangat baik sekali dan menimbulkan kepercayaan yang besar dari masyarakat terkait kondisi AstraZeneca. Apa pun hasilnya maka ungkapkan, karena KIPI itu bisa berhubungan atau bisa juga tidak terkait," katanya.

Terkait keluhan linu-linu pegal yang dialami usai divaksin AstraZeneca, Iris menjelaskan fenomena itu termasuk KIPI yang dianggap ringan. Kendati demikian, dia melanjutkan, BPOM dan Komisi Nasional KIPI sebagai otoritas terus memantau dampak vaksinasi. Oleh karena itu, pihaknya meminta masyarakat yang mengalami keluhan setelah disuntik bisa melaporkan ke dua pihak ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement