Rabu 12 May 2021 06:14 WIB

Seabad The Wonder Cane of Java

Indonesia adalah negara importir gula dan merupakan importir gula terbesar di dunia.

Buruh tani memanen tebu hijau sebagai bahan baku minuman sari tebu.
Foto:

Oleh : Prof Andi Muhammad Syakir, Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI), Profesor Riset Bidang Perkebunan

Tren impor gula Indonesia cenderung meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Laju pertumbuhan volume impor gula selama tahun 2015-2019 sebesar 4,5 persen per tahunnya.

Indonesia adalah negara net importir gula, dan merupakan importir gula terbesar di dunia, berdasarkan jumlah volumenya di tahun 2019 (7,5 persen dari volume impor gula dunia 2019). Ketergantungan terhadap gula impor yang besar akan memicu persoalan dalam penyediaan gula di masa depan, dan secara tidak langsung akan berimbas pada dinamika politik, sosial dan ekonomi masyarakat.

Ketidakseimbangan antara jumlah produksi gula dengan kebutuhan konsumsi dalam negeri memungkinkan terjadinya gap yang tinggi, sehingga Pemerintah harus terus berupaya meningkatkan produksi. Berbeda dengan Brazil, India, Thailand, dan Australia dimana produksi gula mereka terus meningkat dan makin kompetitif dibanding produksi gula Indonesia. Hal itu terjadi karena keempat negara tersebut memiliki luas areal perkebunan, produksi, dan produktivitas tebu yang relatif tinggi.

Beberapa faktor yang menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi gula dalam negeri diantaranya belum sinergisnya kebijakan pemerintah dengan arah pemberdayaan pertanian tebu, menyusutnya areal tebu karena minat petani yang semakin rendah, dan tidak berkembangnya lembaga riset dan penelitian. Padahal lembaga riset menjadi ujung tombak penghasil varietas-varietas tebu unggul.

Indeks biaya produksi gula Indonesia mencapai angka 192, apabila dibandingkan dengan Brazil dan Thailand sebagai benhcmark dunia, biaya produksi gula di Indonesia hampir dua kali lebih tinggi. Sekitar 70 persen biaya produksi gula di Indonesia berada di sisi on-farm (kebun).

Hal tersebut terjadi karena kebun tebu terutama di Jawa lebih dari 90 persen dikelola oleh petani atau masyarakat dengan tingkat produktivitas dan rendemen masih tergolong rendah. Jika dibandingkan dengan harga Internasional, biaya pokok produksi (BPP) gula di dalam negeri masih relatif lebih tinggi.

Selama tahun 2020, BPP gula diperkirakan sebesar Rp 9857 per kg. Sementara harga white sugar international tahun 2020 (Jan-Okt) rata-rata sebesar Rp 5.465 per kg.

Harga acuan penjualan gula di dalam negeri telah ditetapkan sebesar Rp 12.500 per kg sejak 2017, tetapi belum terlihat efektif. Margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) komoditi gula cenderung meningkat setiap tahun berkisar antara 30-33.18 persen.

Kenaikan biaya terutama biaya distribusi akan meningkatkan 3-6 persen harga gula di tingkat eceran sehingga rata-rata harga gula domestik cenderung selalu di atas harga acuannya. Tingginya harga gula di dalam negeri juga berasal dari permasalahan fundamental seperti produktivitas, luas lahan, rendemen, dan efisiensi PG sehingga pada akhirnya mempengaruhi harga jual gula kristal putih di pasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement