Ahad 16 May 2021 10:22 WIB

Menang dari Ketidakwarasan Kolektif

Usai puasa Ramadhan semestinya membawa kita terbebas dari ketidakwarasan kolektif.

 Idul Fitri. Ilustrasi
Foto:

Oleh : Tamsil Linrung, Senator DPD RI - Komite III Membidangi Sektor Pendidikan

Silaturahim yang kemudian oleh media disebut sebagai “Poros Serpong” itu, menyoroti banyak problem kebangsaan yang seolah dilanggengkan. Pertama, menyoroti kehidupan demokrasi yang tampak berjalan semakin mundur. Antara lain fenomena proses legislasi yang mengabaikan aspek aspirasi dan partisipasi publik. Beberapa produk perundang-undangan ketuk palu secara dipaksakan.

Padahal, keterlibatan dan mengakomodasi kepentingan masyarakat merupakan proses penting dalam penyusunan perundang-undangan. Produk UU harus lahir dari konsensus untuk mencapai suatu tujuan bersama. Secara yuridis, UU yang mengabaikan aspirasi rakyat punya cacat bawaan. Legitimasinya lemah.

Sorotan lain terhadap kehidupan berdemokrasi adalah belenggu terhadap aspirasi rakyat. Kebebasan berbicara dibatasi. Hal ini bahkan sudah disigi secara ilmiah oleh sejumlha lembaga riset. Bahwa masyarakat Indonesia saat ini cenderung takut mengungkapkan pendapat. Bukan saja karena ancaman pidana melalui pasal karet UU ITE, namun juga karena sepak terjang buzzer politik yang  seolah dibiarkan melontarkan caci maki dan merusak iklim kebebasan berpendapat.

Kedua, arah kebijakan ekonomi yang semakin menjauh dari kepentingan rakyat. Kebijakan investasi misalnya, meminggirkan peran-peran anak negeri. Dampak paling kentara dari liberalisasi ekonomi yang tak karuan tampak dari tersisihnya tenaga kerja lokal akibat serbuan tenaga kerja asing.

Banjir pekerja impor, bahkan terjadi ketika angka pemutusan hubungan kerja dan pengangguran melambung. Sorotan terhadap isu ini sebetulnya sudah sejak lama mencuat ke publik. Bahkan banyak elemen masyarakat yang melakukan investigasi dan pembuktian.

Problem lain di sektor ekonomi, juga terlihat dari arah kebijakan di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang justru tidak mencerminkan keberpihakan kepada rakyat kecil. Bagaimana misalnya stimulus ekonomi bernilai jumbo yang digelontorkan kepada kelompok-kelompok konglomerasi bisnis. Namun perhatian terhadap UMKM sangat minim. Kebijakan untuk sektor ril cenderung tidak adil dan sekadar normatif.

Ketiga, “Poros Serpong” juga menyoroti ketidakadilan penegakan hukum yang dipertontonkan secara terbuka. Kelompok-kelompok kritis, seolah dicarikan salah dan masalah. Entah oleh siapa. Tapi publik melihat jika suara-suara vokal, dipantau ketat. Bahkan hingga ke wilayah pribadi. Perbincangan yang terenskripsi dua arah, begitu mudah diumbar sebagai konsumsi publik.

Keempat, arah kebijakan pengendalian Covid-19 yang tidak jelas. Sejak awal, pemerintah tidak menerapkan kebijakan secara konsekuen. Proses vaksinasi yang tengah berlangsung, belum terlihat kapan tuntas. Jenis vaksin yang akan digunakan, termasuk pengembangan produk lokal juga menjadi kemelut.

Perkembangan paling baru dari jalan ditempat pengendalian Covid-19 terlihat dari ketidaktegasan pemerintah terhadap aturan mudik. Di satu sisi, pemerintah melarang mudik yang merupakan ritual dari habitus masyarakat Indonesia. Pemudik dihalangi di tengah jalan. Namun pada saat yang sama, kebijakan stimulasi pariwisata digenjot. Rakyat didorong mengunjungi destinasi rekreasi yang artinya akan menciptakan mobilitas massal.

Inkonsistensi seperti ini dipertontonkan sejak awal pandemi. Dampaknya, pengendalian Covid-19 jauh panggang dari api. Indonesia jadi salah satu negara dengan tingkat penyebaran yang tinggi. Bahkan tingkat korban petugas medis masuk di jajaran teratas.

Anehnya, berbagai problematika kebangsaan itu seolah menghipnotis publik yang telah dijejali oleh propaganda para pendengung di media sosial. Sehingga perlahan dianggap biasa saja. Kita mengidap ketidakwarasan kolektif.

Hari Raya Idul Fitri dan rangkaian ibadah Ramadhan yang menempa kita menjadi sosok berintegritas, semestinya jadi titik balik untuk meluruskan arah bangsa. Bekal nilai-nilai kejujuran, kepatuhan dan tertib dalam berbuat, seyogyanya menuntun para pengambil kebijakan tegak lurus pada konstitusi dan kepentingan rakyat. Kita cemas, pembiaran yang berlarut-larut dan terakumulasi oleh waktu, menggiring bangsa ini pada titik keseimbangan baru yang tidak kita duga-duga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement