REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) resmi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terkait penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). MAKI, dalam permohonannya meminta hakim praperadilan memerintahkan agar KPK, mencabut SP3, dan melanjutkan penyidikan kasus yang merugikan keuangan negara senilai Rp 4,5 triliun tersebut.
Kordinator MAKI Boyamin Saiman menerangkan, permohonan praperadilan resmi ia daftarkan ke PN Jaksel, pada Jumat (30/4). Dia menerangkan, ada lima materi permohonan yang ia sorongkan ke pengadilan.
“Tetapi inti dari gugatan praperadilan ini, ada dua. Pertama, meminta hakim praperadilan menyatakan secara hukum tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh termohon, dalam hal ini KPK, terhadap tersangka Sjamsul, dan Itjih adalah penghentian penyidikan yang tidak sah, dan batal demi hukum,” kata Boyamin, saat ditemui di PN Jaksel, pada Jumat (30/4).
Inti permohonan kedua, kata Boyamin, yakni meminta KPK melanjutkan perkara yang menetapkan Sjamsul, dan Itjih sebagai tersangka dilanjutkan. “Meminta agar hakim praperadilan memerintahkan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap tersangka Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim wajib dilanjutkan oleh KPK,” terang Boyamin.
Dia menambahkan, ada sekitar 32 alasan, dan dasar-dasar hukum mengapa praperadilan terhadap KPK terkait tersangka BLBI itu MAKI ajukan.
Alasan paling akurat, kata Boyamin, karena MAKI, akan mengungkapkan bukti-bukti baru dari hasil penyidikan kasus BLBI yang belum terungkap di persidangan dalam kasus serupa yang menyeret nama lain ke persidangan.
“Ini nanti akan kita ajukan sebagai bukti-bukti baru atau novum, yang ini menjadi kunci, mengapa seharusnya penyidikan terhadap tersangka Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim ini, KPK lanjutkan, sampai ke persidangan,” terang Boyamin menambahkan.
Alasan lainnya, sebagai bantahan atas argumentasi KPK dalam penerbitan SP3 tersebut. Menurut Boyamin, ada dua kecacatan dalil KPK dalam penerbitan SP3 terhadap tersangka Sjamsul dan Itjih. Pertama, terkait putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) 2019, yang membebaskan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dari vonis penjara 13 tahun di PN Tipikor 2018, dan 15 tahun pada tingkat banding PT DKI Jakarta 2019.
Kasus korupsi yang menyeret Arsyad Temenggung, adalah irisan perkara yang sama melibatkan Sjamsul dan Itjih. Menurut KPK, kasasi di MA yang menyatakan Arsyad Temenggung tak bersalah, dan bebas dari pemidanaan, membuat kasus yang menyeret Sjamsul, dan Itjih sebagai tersangka korupsi, pun menjadi tak relevan lagi. Karena KPK meyakini, penyidikan korupsi, harus menyertakan adanya syarat penyelenggara negara dalam melakukan perbuatan tersebut.
Akan tetapi, MAKI mementahkan alasan KPK itu. “Hal ini, sungguh sangat tidak benar. Karena dalam surat dakwaan atas nama Syafruddin Arsyad Temenggung, dengan jelas didakwa bersama-sama (melakukan tindak pidana korupsi), dengan Dorojatun Kuntjoro Jakti,” ujar Boyamin. Dorojatun, adalah mantan menteri kordinator perekonomian yang juga disebut-sebut terlibat dalam pusaran kasus yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun itu. “Sehingga, meskipun SAT (Arsyad Temunggung), dinyatakan bebas, tetap masih ada penyelenggara negara dalam kasus tersebut, yakni Dorojatun Kuntjoro Jakti,” terang Boyamin.
Kecatatan kedua, dikatakan Boyamin, KPK juga tak dapat menjadikan putusan kasasi hakim MA yang membebaskan Arsyad Temenggung dari pemidanaan untuk menjadi landasan SP3 pihak lain. Karena Boyamin meyakini, sistem hukum pidana Indonesia, tak menjadikan keputusan hakim, atau jurisprudensi terhadap satu terdakwa, sebagai pengikat putusan bagi pihak-pihak lain yang terlibat.
“Sistem hukum pidana Indonesia, menganut sistem kontinental. Yaitu, tidak berlakunya jurisprudensi. Artinya, putusan atas seseorang, tidak serta merta berlaku bagi orang lain,” terang Boyamin.