Jumat 30 Apr 2021 00:10 WIB

PPATK Sebut Hasil Tindak Pidana di Indonesia Belum Optimal

Belum optimal karena Indonesia belum memiliki instrumen hukum memadai.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Andi Nur Aminah
Pelantikan Kepala PPATK. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang baru, Dian Ediana Rae
Foto: undefined
Pelantikan Kepala PPATK. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang baru, Dian Ediana Rae

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kepala PPATK, Dian Ediana Rae mengatakan dalam Legal Forum yang diselenggarakan pada Kamis (29/4) di Jakarta, berdasarkan hasil pemantauan PPATK, upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal. Khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya. 

Di antaranya, termasuk hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan penetapan RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana.

Baca Juga

“Pemberantasan tindak pidana dengan motif ekonomi belum optimal karena Indonesia belum memiliki instrumen hukum memadai yang dapat memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan,” kata Dian dalam keterangan pers yang diterima, Kamis (29/4).

Acara itu bertema “RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana, Pantaskah Masuk Prioritas?” yang bertujuan untuk melakukan upaya progresif, baik dalam rangka pencegahan maupun pemberantasannya mengingat semakin meningkatnya tindak pidana.

Beberapa pejabat penting hadir, seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Ketua Badan Legislatif DPR RI Supratman Andi Agtas, Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry, dan Kepala PPATK Periode 2002-2011 Yunus Husein.

Dian menambahkan permasalahan terkait tindak pidana yang belum optimal menyebabkan upaya untuk memiskinkan koruptor baru sebatas wacana dan belum dapat terealisasi. Sebab, pelaku kejahatan memanfaatkan keterbatasan regulasi mengenai penyelamatan aset (asset recovery) hasil tindak pidana (proceed of crimes).

Kini pemerintah tengah melakukan upaya pemberantasan yang berasal dari inisiasi PPATK dengan membangun sistem perampasan aset terkait tindak pidana atau yang dikenal dengan non-conviction based (NCB) yang diadopsi dari ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption(UNCAC).

Perampasan aset terkait tindak pidana dalam RUU adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan atau kepemilikan Aset Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.

RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana memuat tiga substansi utama. Yakni, unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset. Salah satu upaya progresif dalam optimalisasi penyelamatan negara tersebut adalah ketentuan mengenai unexplained wealth. Dalam hal ini, pemerintah dapat melakukan perampasan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana.

Sementara itu, Mahfud MD menegaskan ditetapkannya RUU Perampasan Aset dapat membantu pengembalian kerugian negara baik yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya. Itu semua akan memberi efek jera kepada pelaku dan deterrent effect bagi calon pelaku kejahatan ekonomi.

“RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sejalan dengan salah satu Agenda Presiden Tahun 2020-2024, yaitu Memperkuat Stabilitas Politik, Hukum dan Keamanan, dan Transformasi Pelayanan Publik,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement