Rabu 28 Apr 2021 15:09 WIB

Ramadhan di Masa Pandemi Momentum Bangun SDM Unggul

Puaa adalah jalan pintas mendongkrak kualitas ketaqwaan seorang ataupun umat Muslim.

Ilustrasi Ramadhan
Foto:

Dimensi sosial yang luas

Selain mempertebal nilai keimanan dan ketaqwaan (kehidupan spiritual), puasa juga memiliki dimensi sosial yang luas. Sejarah pun mencatat, puasa merupakan titik balik peradaban manusia. Setelah Nabi Muhammad SAW memperoleh pencerahan spiritual dalam peristiwa di Gua Hira, beliau mampu merombak tatanan sosial di masyarakatnya dan memberlakukan tatanan kehidupan sosial yang baru. Yakni sistem kehidupan yang egaliter dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

Dengan demikian, puasa adalah juga suatu peringatan sekaligus ajakan bagi seluruh umat manusia untuk bertobat dan berubah menjadi insan yang sempurna, yaitu insan yang egaliter, saling menghormati, dan menghargai, saling bekerja sama dan menjujung nilai kebenaran dan keadilan. Puasa memiliki makna sosial yang dalam karena dalam puasa umat Muslim tak hanya menahan nafsu makan dan minum, tetapi juga diminta untuk menahan amarah, fitnah, dan kata-kata kasar.

Puasa adalah juga momen untuk mengasah kecerdasan emosional, terutama kesabaran. Sebab, selama 30 hari umat Muslim berlatih menahan hawa nafsu, mulai dari sabar menahan lapar, haus, dan emosi negatif. Apabila seseorang berhasil belajar sabar, maka ia akan lebih tenang menjalani kehidupan dan lebih siap menjalin hubungan sosial serta bekerja sama dengan orang lain.

Membangunan Karakter

Salah satu manfaat penting dari puasa adalah membangun karakter dan perilaku yang lebih baik. Selama bulan umat Muslim diajak untuk mengurangi perilaku dan kebiasaan buruk, dan menggantikannya dengan kebiasaan baik. Ini adalah manfaat Puasa sebagai ajang pembangun karakter dan perilaku yang lebih baik.

Makna puasa yang demikian sangat urgen untuk konteks pendidikan Indonesia saat ini. Soalnya, pada masa belakangan ini, para orang tua, masyarakat bahkan pemerintah sendiri cukup gemas dengan dunia pendidikan kita yang tampaknya kurang berdaya melindungi  generasi muda kita, terutama mereka yang sedang duduk di bangku sekolah dan perguruan tinggi dari berbagai perilaku dan kebiasaan yang negatif.

Belakangan ini kita sering mendengar, membaca atau menonton berita dari berbagai saluran media perihal kasus penyalahgunaan narkoba, kekerasan seksual, aksi perundungan, perampokan, pembalakan bahkan aksi teror yang melibatkan orang muda. Kekhawatiran akan hal tersebut dipertegas hasil penelitian para ahli dan praktisi pendidikan mengenai proses pendidikan terutama tentang penanaman pendidikan karakter dalam diri generasi muda.

Doni Koesoema A. lewat bukunya “Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger” (2016) menyatakan, dunia pendidikan kita terkendala oleh kondisi  karakter para pendidik juga. Jika kita simak laju teknologi dan informasi, tampak jelas bahwa kemampuan guru dalam mengaktualisasi diri dan memperbarui pengetahuan seringkali ketinggalan. Guru/Dosen menjadi pendidik yang keblinger sehingga kewalahan dalam mengembangkan karakter para peserta didik.

Sementara pakar pendidikan, I Ketut Sumarta menyatakan bahwa pendidikan nasional kita cenderung mengedepankan pembentukan intelegensi berpikir dan agak mengabaikan perihal pengembangan kecerdasan batin spiritual dan moral (akhlak), dan kecerdasan sosial.  Dari kondisi yang demikian, tak mengherankan apabila lembaga pendidikan melahirkan  orang-orang cerdas secara intelektual dan berketrampilan tinggi di bidangnya masing-masing, tetapi longgar dalam prinsip-prinsip moral (akhlak) dan kurang memiliki kepedulian sosial.

Menurut penulis, puasa adalah salah satu peluang emas untuk mengatasi, atau paling tidak mengurangi masalah tersebut. Sebab, selama masa puasa biasanya para orang tua dan komunitas Muslim berupaya optimal untuk menjadi teladan dalam menghayati sekaligus menanamkan/mewariskan kepada generasi yang lebih muda nilai-nilai keimanan, ibadah dan akhlakul karimah.

Jadi, melalui ibadah puasa sebetulnya umat Islam secara tidak langsung membantu dunia pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi serta para guru/dosen) menjalankan fungsi dan tanggung jawab pendidikan terhadap generasi muda. Melalui Puasa, umat Muslim berperan aktif mengemban fungsi pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan, menumbuhkan karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.

Melalui ibadah puasa, umat Muslim juga ikut aktif menghidupkan program ‘Merdeka Belajar’ yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, dengan menjalankan puasa umat Muslim pun ikut memperjuangkan tujuan pendidikan nasional yaitu “melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement