Kamis 22 Apr 2021 12:52 WIB

Aturan Larangan Mudik Diperluas Berlaku Sebelum 6 Mei

Epidemiolog yakini mobilitas mudik bisa naikkan kembali kasus Covid-19.

Petugas memeriksa kelengkapan dokumen calon penumpang sebelum memasuki Kapal Motor Penumpang (KMP) Satya Kencana di Pelabuhan Jangkar, Situbondo, Jawa Timur, Kamis (22/4/2021). Larangan mudik yang dikeluarkan pemerintah mulai 6 hingga 17 mei 2021 mendatang membuat sebagian warga Pulau Sapudi, Sumenep yang bekerja di Pulau Bali mulai memadati Pelabuhan Jangkar untuk mudik lebih awal.
Foto:

Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Nadia Yovani, mengatakan konsistensi penegakan aturan di lapangan dibutuhkan untuk mencegah masyarakat mudik pada Lebaran 2021. Nadia dalam keterangan pers diterima di Jakarta, Kamis (22/4) mengatakan pemerintah telah melarang mudik bagi seluruh kalangan masyarakat, mulai dari karyawan BUMN, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, anggota TNI-Polri, pekerja formal maupun informal, hingga masyarakat umum. Tujuannya dalam rangka upaya pengendalian penyebaran Covid-19.

"Sanksi hukum itu saya pikir kalau memang diberlakukan dengan konsekuen, konsisten itu, ya itu bisa. Problemnya itu kan problem yang ada itu selalu mengenai konsistensi antara aturan dan implementasi daripada aturan tersebut," kata Nadia Yovani.

Nadia menilai aparat di lapangan tidak boleh mengambil ekses dari sanksi yang diberlakukan pemerintah atau harus konsisten."Misalnya negosiasi gitu ya dengan aparat," kata dia.

Dia yakin masyarakat bisa mengurungkan niat mudik jika aparatnya di lapangan bisa konsisten. Dia pun berpendapat sanksi sosial bagi pemudik yang nekat merupakan salah satu hal yang bisa dilakukan kalau memang kulturnya sudah terbentuk. "Kalau misalnya semuanya masih mengaminkan bahwa mudik lebaran itu memang perlu untuk dilakukan, bagaimana mau melakukan sanksi sosial. Sanksi sosial yang bisa dilakukan paling di sosial media dengan meng-highlight tindakan-tindakan nekat dari pemudik misalnya," katanya.

Dia mengatakan, netizen Indonesia bisa memberikan komentar negatif terhadap mereka yang nekat mudik sebagai sanksi sosial bagi orang yang nekat mudik. "Tapi yang diutamakan lebih kepada sanksi yang diberlakukan oleh pemerintah ketika warga masyarakat melanggar, tindakan ini," katanya.

Nadia menjelaskan semua tahu mudik itu adalah aktivitas rutin yang dilakukan bertahun-tahun. Dia berpendapat, sebuah aktivitas sosial yang dilakukan secara rutin itu bisa dibilang sebagai budaya. "Kalau bilang budaya itu sudah inheren seperti tertanam dalam diri. Seperti makan saja, jadi keharusan, tidak makan nasi tidak afdol. Jadi, levelnya sudah sampai seperti itu, inheren dalam pikiran manusia Indonesia, tertanam dan entah kenapa itu wajib untuk dilakukan," ucapnya.

Dia berpendapat, untuk mengubah kultur seseorang mengenai mudik itu bisa dilakukan dengan pendekatan secara top down atau pendekatan institusional kelembagaan. "Harusnya ketika sudah ada prosedur untuk pembatasan untuk mudik atau larangan mudik di lebaran tahun ini, itu juga disertai dengan prosedur yang jelas, aturannya juga klir, nah sanksinya juga jelas," ujarnya. Dia menilai perlunya sanksi yang bisa membuat orang sadar bahwa pandemi Covid-19 belum tuntas.

Ahli penyakit tropik dan infeksi, dr Erni Juwita Nelwan, mengingatkan semakin banyaknya mobilisasi masyakat, seperti mudik, maka risikonya adalah kasus Covid-19 akan kembali melonjak. Menurutnya, selain perlu ada aturan tegas, juga perlu edukasi risiko dan manfaat agar masyarakat mendukung larangan tidak mudik pada lebaran tahun ini.

"Saat ini vaksinasi massal belum dilakukan sehingga bila banyak mobilisasi risiko akan terjadi kenaikan kasus lagi. Protokol kesehatan harus gencar terus dilakukan," ujar Erni.

Menurut Erni, ada beberapa hal yang bisa pemerintah lakukan untuk mencegah masyarakat yang bersikeras mudik. "Edukasi risiko dan manfaat, lakukan tindakan yang simpatik dalam melarang, dan ada aturan yang tegas buat semua," ujarnya.

Erni mengatakan, pencegahan agar masyarakat tidak mudik tidak bisa hanya oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah pun harus berupaya mencegah masyarakat mudik. Koordinasi antar daerah bisa jadi salah satu cara.

"Lakukan sistem isolasi sebelum keluar masuk suatu daerah, bahkan yang ekstrem swab buat semua pendatang yang biayanya bisa sharing," ujarnya.

Tempat wisata seharusnya tidak boleh dibuka selama ada larangan mudik Lebaran. "Kalau tidak boleh mudik, tidak boleh juga wisata ya," ucapnya.

Sementara epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman juga mengatakan Indonesia akan menghadapi lonjakan kasus positif Covid-19 jika mudik tidak bisa dikendalikan.

"Itu suatu hal yang tidak bisa dibantah. Itu satu hukum biologi. Bahwa kasusnya terlihat atau tidak, itu lain soal," ujar Dicky Budiman.

Menurut Dicky bahwa tidak terlihat bukan berarti tidak ada kasus. "Ini yang harus dipahami. Apalagi sekarang ada strain baru begitu cepat menular, bukan berarti tidak terjadi infeksi penularan ketika arus mobilisasi relatif tinggi, itu tetap terjadi," kata Dicky.

Menurut Dicky, pemerintah bisa memperkuat regulasi untuk mencegah banyaknya masyarakat yang ngotot mudik Lebaran.  Selain itu, kata Dicky, pemerintah juga bisa membangun narasi bahwa kehadiran fisik bisa merugikan atau membahayakan. Dia berpendapat, masyarakat bisa mengirimkan makanan atau benda ke keluarga di kampung halaman tanpa melakukan mudik.

"Gunakan juga keterlibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, selain pemerintah sendiri pejabat publiknya memberikan contoh langsung nyata bahwa dia tidak pulang kampung. Karena mencegah sama sekali sulit. Yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran dan meminimalisir risiko," jelas Dicky.

Dia berpendapat, pemerintah daerah seharusnya berperan mencegah masyarakat mudik. "Pemerintah daerah juga berperan dalam imbauan kepada warganya yang merantau, memberikan pesan pada yang tidak bisa mudik," tuturnya.

Dia juga tidak sepakat tempat wisata dibuka selama ada larangan mudik. Menurut Dicky, sanksi bisa diberikan untuk pengelola tempat wisata maupun pengunjung. "Sistem sanksi bagi pengelola dan denda misalnya bagi pengunjung bisa diterapkan untuk menjamin itu," kata Dicky.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement