Sabtu 17 Apr 2021 13:47 WIB

IDI Ingatkan DPR tak Boleh Ambil Alih Kinerja BPOM

BPOM harus dijaga dan tak boleh diintervensi oleh sesuatu yang bersifat politis.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) - Daeng M. Faqih
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) - Daeng M. Faqih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Daeng M Faqih menyoroti sikap sejumlah anggota DPR yang seakan memaksakan izin uji klinis tahap II untuk vaksin Nusantara. Menurutnya, jangan sampai lembaga legislatif itu mengambilalih kerja dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin.

"Menurut hemat saya, apa yang dilakukan oleh DPR itu mengawasi kinerja, tidak mengambilalih kinerja. Kalau sampai mengambilalih kinerja, ya saya khawatir semua kegiatan-kegiatan kelembagaan, badan, lembaga negara ini berat kalau seperti itu," ujar Daeng dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (17/4).

Baca Juga

Ia mengatakan, apa pun keputusan yang dihasilkan di DPR bersifat politis. Meskipun dalam sejumlah rapat, para legislator menerima masukan dari pakar, peneliti, atau orang-orang yang ahli di bidang tertentu.

"Hemat saya, betul DPR kerjakan dalam rangka pengawasan kelembagaan, memang kerjanya mengawasi pemerintah dan lembaga di dalamnya. Tetapi, harusnya yang diawasi adalah kinerjanya, jangan sampai kemudian seolah-olah DPR mengambil alih kinerja," ujar Daeng.

Jika hal seperti ini dibiarkan, BPOM dan lembaga lainnya rentan disusupi unsur politis di dalamnya. Menurutnya, pekerjaan profesional seperti yang dilakukan oleh BPOM harus dijaga dan tak boleh diintervensi oleh sesuatu yang bersifat politis.

"Prosedur keilmuan yang dikerjakan, jangan sampai prosedur keilmuan itu kemudian ada intevnsi. Termasuk dukung-dukungan, ada tokoh ini ada tokoh ini, di dunia keilmuan tidak ada artinya itu," ujar Daeng.

BPOM, kata Daeng, hingga saat ini dinilainya dalam keputusan yang tepat ketika tak mengizinkan uji klinis tahap II vaksin Nusantara. Pasalnya, instansi yang dipimpin oleh Penny K Lukito itu menggunakan standar internasional dalam memeriksa semua obat dan makanan, termasuk vaksin.

Jika BPOM sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan memberikan izin dinilai tak profesional oleh DPR, ia menilai hal tersebut sangat disayangkan. Karena hingga saat ini, BPOM telah mengeluarkan banyak izin untuk obat yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, tanpa menyebabkan efek negatif.

"Semuanya diterapkan pada semua obat, pada semua vaksin, bukan hanya kepada vaksin Nusantara. Makanya kami yakin karena parameter-parameter, indikator-indikator itu diterapkan pada semua vaksin, kami melihat (BPOM) masih on the track," ujar Daeng.

Diketahui, Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengkritik pernyataan Kepala BPOM Penny K Lukito yang tak mengizinkan uji klinis tahap II vaksin Nusantara. Menurutnya, Penny telah membohongi publik dan peneliti dengan pernyataannya tersebut.

Ia mengacu pada hasil kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX dengan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro, Terawan, dan sejumlah peneliti pada Rabu (10/3).

Hasil kesimpulan rapat tersebut, kata Melki, BPOM diminta untuk segera mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis tahap II vaksin Nusantara selambat-lambatnya pada 17 Maret 2021. Inilah yang membuat ia menilai bahwa Penny telah berdusta.

"Ketika Bu Penny sebagai Kepala Badan POM menjelaskan kepada publik kan mendramatisasi seolah-olah ini (vaksin Nusantara) berbahaya, dengan 71 persen dia gambarkan itu berisioko dan sebagainya. Kan itu sudah kita bahas di DPR RI dan tidak ada masalah," ujar Melki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement