Kamis 15 Apr 2021 16:45 WIB

Vaksin Nusantara Buatan AS, Dinilai Sedang Dipolitisasi DPR

Wiku mengungkap vaksin Nusantara adalah produk yang dikembangkan di Amerika Serikat.

RSPAD Gatot Subroto, tempat di mana uji klinis vaksin Nusantara dilaksanakan. Pada Rabu (14/4) beberapa anggota DPR telah diambil sampel darahnya untuk proses uji klinis vaksin Nusantara. (ilustrasi)
Foto:

Kepala BPOM Penny K Lukito saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (14/4), mengungkap dari data evaluasi uji klinis tahap I bahwa sebanyak 71,4 persen relawan vaksin Nusantara mengalami kejadian yang tidak diinginkan (KTD).

"Sebanyak 20 dari 28 subjek mengalami KTD, meskipun dalam grade 1 dan 2," ujarnya.

Selanjutnya, dia menambahkan, terdapat KTD grade 3 pada enam subjek dengan rincian, yaitu satu subjek mengalami hipernatremia, dua subjek mengalami peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan tiga subjek mengalami peningkatan kolesterol. Penny kemudian memerinci, seluruh subjek mengalami KTD pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mikogram dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mikogram dan tanpa adjuvant.

Adapun, KTD yang dilaporkan terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, petechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Ia menambahkan, kejadian yang tidak diinginkan grade tiga merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinis yang tercantum pada protokol uji klinis.

"Namun berdasarkan informasi tim peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinis dan analisis yang dilakukan oleh tim peneliti terkait kejadian tersebut," katanya.

Penny melanjutkan, terdapat tiga dari 28 subjek atau sekitar 10,71 persen subjek yang mengalami peningkatan titer antibodi lebih dari empat kali setelah empat minggu penyuntikan. Namun, delapan dari 28 subjek itu mengalami penurunan titer antibodi setelah empat pekan penyuntikan dibandingkan sebelum penyuntikan.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kadar titer antibodi dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi adjuvant, bukan karena peningkatan kadar antigen," ungkap Penny.

Menurutnya, dalam menjelaskan proses pembuatan vaksin dendritik, terlihat kelemahan-kelemahan dalam penjaminan mutu dan keamanan pada pembuatan produk uji yang menurut pengakuan tim peneliti memang tidak dilakukan. Tim peneliti, kata Penny, mengupayakan perbaikan.

Dengan temuan itu, BPOM jadi belum memberikan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis tahap II vaksin Nusantara. BPOM meminta tim peneliti vaksin Nusantara untuk memperbaiki dan melengkapi dokumen Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

Tak hanya itu, Penny sebelumnya juga mengungkapkan hasil evaluasi vaksin Nusantara menunjukkan bahwa vaksin tersebut belum memenuhi kaidah penelitian. Selain itu, komponen yang digunakan dalam penelitian tidak sesuai pharmaceutical grade, kebanyakan impor, dan antigen virus yang digunakan bukan berasal dari virus corona di Indonesia sehingga tidak sesuai dengan klaim vaksin karya anak bangsa.

Atas paparan BPOM, Republika.co.id sudah beberapa kali mengonfirmasi hal ini kepada Terawan. Terawan hanya membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Republika.co.id melalui Whatsapp, namun tidak merespons. Permintaan mewawancarai Terawan via telepon juga tidak ditanggapi.

photo
Masih Banyak Warga tak Bersedia Divaksin - (Infografis Republika.co.id)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement