REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pengadilan Tipikor Bandung menggelar sidang perdana dugaan korupsi dengan terdakwa Wali Kota Cimahi Nonaktif, Ajay M Priatna, Rabu (14/4). Dalam dakwannya, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerak terdakwa dengan Pasal 12 huruf a, Pasal 11 dan Pasal 12 huruf b UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam sidang perdana ini terdakwa dihadirkan di pengadilan dengan mengenakan rompi warna oranye.
Menurut Jaksa KPK Budi Nugraha, terdakwa diduga menerima hadiah berupa uang (gratifikasi) sebesar Rp 1.661.250.000 dari Hutama Yonathan Direktur Utama PT Mitra Medika Sejati, Hutama Yonathan, yang juga pemilik Rumah Sakit Umum RSU Kasih Bunda. Pemberian uang tersebut dilakukan secara bertahap sejak 6 Mei dan terakhir 27 November 2020 sebesar Rp 425 juta. "Uang tersebut diberikan secara bertahap," kata Jaksa dalam dakwannya.
Jaksa menyebut dugaan suap tersebut berawal dari rencana RS Kasih Bunda memerluas fasilitas gedung hingga mencapai 12 lantai pada 2019 lalu. Untuk merealisasikan rencana tersebut, pihak RS Kasih Bunda harus mengurus perizinan ke Pemkot Cimahi melalui Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Untuk memuluskan rencana tersebut, Hutama Yonathan, menemui terdakwa di sebuah restoran di Kota Bandung.
Dalam pertemuan itu terdakwa meminta uang komisi sebesar 10 persen atau Rp 3,2 miliar. Sedangkan total nilai proyek tersebut sebesar Rp 32 miliar. Setelah menerima dan mengetahui rincian nilai proyek terdakwa meminta bagian fee koordinasi terkait perizinan sebesar 10 persen dari nilai kontrak tersebut atau senilai Rp 3,2 miliar," tutur Jaksa.
Pihak Hutama Yonathan (Dirut PT Mitra Medika Sejati) menyetujui permintaan tersebut dan memberikan uang fee kepada terdakwa dalam lima tahap. Sedangkan total yang diberikan kepada terdakwa sebesar Rp 1,25 miliar.
Selain meminta komisi, lanjut jaksa, terdakwa juga ternyata turut mengatur kegiatan pembangunan rumah sakit tersebut. Terdakwa meminta kepada Hutama Yonathan agar proyek tersebut dikerjakan oleh PT Dania Pratama International milik rekanannya. Permintaan itu pun disetujui Hutama.
Dalam kasus ini, KPK juga menetapkan Hutama Yonathan sebagai tersangka dalam berkas terpisah. Hutama disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.