REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Adi Prayitno memandang jika wacana doa lintas agama oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag), menunjukkan kapasitas dari pribadinya sendiri. Menurut Adi, Menag gagal bertransformasi dari ketua ormas menjadi Menteri Agama.
"Mungkin Menag ini masih menganggap dirinya sebagai ketua ormas, bukan Menag yang pejabat publik. Jadi pola pikirnya masih latar belakang ormas," ujar dia kepada Republika, Jumat (9/4).
Dia menambahkan, sebagai pejabat publik yang memegang posisi Menteri Agama, Gus Yaqut kata dia, seharusnya bisa mengeluarkan ucapan yang berhati-hati. Bahkan, setiap wacana meski di internal lingkungannya, Adi klaim harus melakukan berbagai kajian yang mendalam.
"Sentimen itu positif atau tidak dalam setiap omongannya. Kalo ormas kan ga perlu gitu. Jadi, seorang pejabat publik harus berhati-hati, karena setiap omongannya mengandung unsur hukum dan negara," lanjut dia.
Menurut Adi, selama ini persoalan doa yang mayoritas dilantunkan dengan adat Islam tidak dipermasalahkan. Termasuk, oleh masyarakat dari agama lain yang memang terbiasa menggunakan doa kepercayaanya saat tiba sesi doa dan salam.
"Selama ini, doa yang banyak dilantunkan ayat Islam tidak diributkan, justru yang meributkan itu Menag sendiri," katanya.
Tak hanya itu, kata Adi, PBNU, Persis, Muhammadiyah, bahkan hingga agama lain juga tidak melakukan protes terkait itu. Karenanya, dia meminta, agar Menag tidak membuat sesuatu yang selama ini baik-baik saja, menjadi tidak baik.
"Coba tanyakan kepada Menag, apa selama ini ada orang yang mempersoalkan doa menggunakan ajaran Islam?, Nggak ada kok,’’ ungkap dia.
Terlepas dari aturan teknis itu, menurut Adi, substansi dari doa dan salam itu sendiri yang sangat penting. Oleh sebab itu, dengan alasan tersebut, Adi memandang, jika Menag gagal memahami konsep pluralisme.
"Jadi yang disebut, egalitarisme, itu tidak harus menyamakan pada semua agama, harus ada proporsi elegan yang penting tidak memancing kegaduhan," ungkap dia.