Selasa 06 Apr 2021 12:42 WIB

Literasi Terkoyak Pandemi

Jumlah anak-anak tak bisa membaca melonjak menjadi 584 juta akibat sekolah ditutup

Anak-anak membaca buku yang disediakan oleh Bemo Baca milik Sutino (60) saat peringatan Hari Aksara Internasional di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Selasa (8/9). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperingati Hari Aksara Internasional (HAI) ke-55 bertemakan Pembelajaran Literasi di Masa Pandemi Covid-19, Momentum Perubahan Paradigma Pendidikan. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Oleh : Arys Hilman Nugraha, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)

Kedua riset menghadirkan instrumen yang relatif sama. Konsumsi media massa, misalnya, dapat meningkatkan angka indeks. Lalu jumlah perpustakaan, baik di sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan umum, maupun taman bacaan masyarakat mewakili aksesibilitas terhadap bahan bacaan.

Alternatif bahan bacaan pun diperhitungkan, yaitu kepemilikan komputer di dalam rumah-rumah tangga. Indikator lainnya adalah hasil asesmen untuk mengukur keluaran (output) pendidikan yang selama ini menjadi standar di tingkat internasional, misalnya Program for International Student Assessment (PISA).

Pandemi tidak mengurangi infrastruktur penyedia bahan bacaan karena jumlah perpustakaan ataupun taman bacaan tidak berkurang. Namun, akses ke tempat membaca itu terdampak. Selain sekolah-sekolah menutup pintu, perpustakaan-perpustakaan umum pun menghentikan atau membatasi pelayanan.

Pada sisi lain, anggaran yang tersedot untuk mengatasi dampak ekonomi Covid pada tahun lalu, berlanjut dengan pengadaan vaksin pada tahun ini, membuat pemerintah menyetop pembelian buku untuk perpustakaan umum maupun sekolah.

Kehadiran Covid-19 menjadi katastrofe bagi dunia literasi. Dampaknya tidak hanya bersifat langsung seperti pada masalah akses terhadap bahan bacaan, melainkan akan bergulung-gulung sebagai efek bola salju menghantam daya literasi bangsa pada tahun-tahun berikutnya. Sulit berharap ekosistem perbukuan—sebagai turus utama literasi—akan tumbuh sehat dan sinambung dalam situasi seperti ini. 

Pandemi menghasilkan dampak yang berbeda-beda di antara negara dengan indeks literasi tinggi dan negara dengan indeks literasi rendah. Di Finlandia, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat (negara-negara papan atas dalam hal indeks literasi), terpaan Covid-19 melahirkan Corona Escapism berupa pembelian buku secara besar-besaran ketika ”lockdown” mulai diberlakukan.

Amerika Serikat memimpin lonjakan penjualan buku cetak sepanjang tahun pandemi dengan angka pertumbuhan 8,2 persen atau catatan tertinggi dalam satu dekade di negeri itu. Bahkan nilai penjualan year over year pada awal Januari mencapai 25 persen.

Di Finlandia, penjualan buku cetak tahun pandemi 2020 tetap tumbuh sebesar 2 persen, ditambah pertumbuhan hingga 12 persen untuk buku audio dan elektronik. Di Inggris, sebanyak 202 juta eksemplar buku terjual pada 2020 atau naik 5,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan merupakan kenaikan tertinggi sejak 2007. 

Di Indonesia, pandemi berdampak sebaliknya: Menjadi lonceng kematian bagi industri perbukuan. Riset Ikapi menunjukkan sebanyak 58,2 persen penerbit mengalami penurunan penjualan lebih dari 50 persen. Sebanyak 29,6 persen penerbit mengalami anjlok 31-50 persen. Hanya 4 persen penerbit yang mengaku tidak terdampak oleh pandemi.

Dalam hal ini kita tidak berhadapan dengan situasi etis lagi karena pilihan sudah jelas: Selamatkan ekosistem perbukuan. Tak ada bangsa yang bisa maju dengan kualitas hidup yang baik tanpa daya literasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement