Selasa 06 Apr 2021 01:01 WIB

Greenpeace: Mitigasi Bencana oleh Pemerintah Belum Maksimal

Skala korban jiwa banjir bandang NTT jadi cermin lemahnya upaya mitigasi bencana.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Andri Saubani
Pekerja membongkar muat bantuan logistik dari pesawat terbang di Bandara Frans Seda, Maumere, NTT, Senin (5/4/2021). Kementerian Sosial menyalurkan bantuan tanggap darurat berupa logistik sekitar Rp2,6 miliar untuk memenuhi kebutuhan mendasar dan meringankan beban para korban banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah di NTT.
Foto: ANTARA/Dedy
Pekerja membongkar muat bantuan logistik dari pesawat terbang di Bandara Frans Seda, Maumere, NTT, Senin (5/4/2021). Kementerian Sosial menyalurkan bantuan tanggap darurat berupa logistik sekitar Rp2,6 miliar untuk memenuhi kebutuhan mendasar dan meringankan beban para korban banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah di NTT.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin mengatakan upaya pemerintah dalam mencegah dampak bencana belum maksimal. Hal itu pun terbukti dari skala dampak bencana banjir bandang di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hingga Senin (5/4) korban meninggal dilaporkan sebanyak 68 orang.

"Selama ini pemerintah sudah publish soal peringatan cuaca dini misalnya dipublikasikan tapi harus dimaksimalkan lagi sehingga publik bisa betul-betul bersiap ketika ada pengumuman," kata Asep saat dikonfirmasi, Senin (5/4).

Baca Juga

Pemerintah dinilai harus menggunakan pendekatan kedaruratan dan kebencanaan agar warga tahu apa yang harus dilakukan. Warga yang terbiasa menghadapi bencana, kata Asep, sudah bisa mengantisipasi apa yang harus dilakukan. Sementara bagi warga yang tinggal di lokasi yang jarang terjadi bencana, itu menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah dalam menyampaikan kepada masyarakat umum.

"Itu memang peran yang harus dilakukan oleh badan penanggulangan bencana sebelum memberikan informasi terkait potensi-potensi bencana yang akan terjadi, mudah diketahui publik dan publik bisa mengetahui dengan benar informasi-informasi itu," ujar dia.

Selain itu, dalam memerangi perubahan iklim, pemerintah juga dinilai belum terlihat serius. Target yang dicapai oleh pemerintah diminta untuk mempublikasikan kinerjanya dan prosesnya kepada publik, sehingga publik tahu apa yang sedang dikerjakan dan apakah sama dengan fakta di lapangan.

Kondisi ini, karena Greenpeace melihat sedikit berbeda implementasinya di lapangan. Misal, Undang-Undang Cipta Kerja yang justru menafikan perlindungan lingkungan hidup.

"Kita juga lihar bencana-bencana selama ini terjadi dan dekat dengan lokasi eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) ini menunjukkan pemerintah bahwasanya investasi dan pengelolaan SDA dengan model sebelum UU Cipta Kerja saja memberikan dampak sedemikian berat," ucap dia.

Jika pemerintah menggunakan pendekatan investasi terkait dengan peningkatan perekonomian berbasis green investment, itu perlu dilihat lebih lanjut. Tidak hanya berbasis green tapi harus dielaborasi dan dijelaskan dengan rinci.

"Terkait dengan tata kelola pemerintah harus terbuka kepada publik. Kalau pemerintah katakan sudah berhasil menurunkan angka deforestasi, tunjukkan datanya karena itu kan berkaitan dengan menghambat terjadi perubahan iklim," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement