REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengatakan, kalangan milenial menjadi target utama perekrutan jaringan teroris. Menurutnya, orang dalam usia tersebut cenderung masih labil sehingga mudah dipengaruhi.
"Memang milenial ini menjadi target utama dari mereka," ujar Wawan dalam diskusi interaktif bertajuk Bersatu Melawan Teror, Sabtu (3/4).
Ia juga mengatakan, kelompok teroris menyasar masyarakat yang tidak kritis. Selain kalangan milenial, sebagian masyarakat umum pun kerap menelan mentah-mentah informasi yang didapatkannya.
Wawan mendorong masyarakat selalu melakukan cek ricek informasi yang diterima. Masyarakat bisa bertanya kepada orang yang lebih berpengalaman, seperti ulama, guru, atau orang tua untuk mendapatkan kajian yang komprehensif.
Apalagi, kata dia, doktrin terorisme sudah menyebar melalui media sosial. Menurut dia, orang yang cenderung tertutup, penyendiri, tidak dekat dengan keluarganya, dan tidak kritis, mudah dipengaruhi atau terpapar doktrin yang mengarahkan pada aksi kekerasan.
Ia menyebutkan, rentang waktu mereka yang mendapatkan doktrin tersebut hingga melakukan tindakan kekerasan, berkisar antara satu sampai enam bulan. Hal ini berlaku untuk mereka yang bergerak sendiri atau lone wolf.
Sedangkan, mereka yang masuk ke jaringan terorisme, jangka waktunya lebih panjang karena melalui pelatihan-pelatihan terlebih dahulu. Tindakan kekerasan yang dilakulan lone wolf lebih cepat karena mereka langsung bergerak usai melihat kejadian tertentu yang kemudian tidak diterimanya.
"Akhirnya dia lebih emosional dan dia menyerang apa saja, bahkan tanpa persiapan yang cukup, seperti yang terjadi di adik ZA (pelaku penyerangan di Mabes Polri) ini. Kita melihat dia tidak mempelajari informasi tempur. Dia hanya menembak tetapi tanpa perlindungan," kata Wawan.
Ia melanjutkan, seperti yang terjadi pada ZA (25), pelaku lone wolf kerap dipicu oleh kejadian tertentu. Emosi mereka meledak dan akhirnya melakukan aksi kekerasan tanpa penghitungan, hingga memang sudah menyiapkan diri untuk mati.
"Dia lebih kepada serangan sporadis dan lebih kepada terdorong oleh amarah, terdorong keinginan untuk segera masuk surga. Ini yang lebih menyelimuti ketimbang daripada langkah-langkah yang terukur," tutur dia.
Dalam kesempatan yang sama, mantan narapidana teroris, Haris Amir Falah mengatakan, kalangan milenial rentan terhadap perekrutan kelompok teroris. Sebab, mereka sedang mencari jati diri dan tertarik pada hal-hal yang bisa menyalurkan keinginannya.
"Dan memang itu usia rentan. Saya dulu direkrut saya di SMA, karena memang masih mencari jati diri kemudian ingin menunjukkan kehebatan," ujar Haris.
Ia mengatakan, para milenial rentan terpengaruh dengan doktrin yang kemudian dianggap bisa menunjukkan kehebatannya. Menurut Haris, perekrutan anak-anak muda ini masih terjadi sangat luar biasa.
Ia bercerita, ketika datang ke Lapas Gunung Sindur, Bogor, tiga hari yang lalu, sebagian besar yang keluar dari jaringan teroris adalah rentang usia 22 tahun-26 tahun. Apalagi, saat teknologi semakin canggih, orang-orang bisa direkrut tanpa bertemu tatap muka.
"Mereka bisa aktif, bisa dialog, kemudian dibina lewat media sosial, ada beberapa media sosial yang menjadi alat yang mereka lakukan secara intensif," kata Haris.
Melihat peristiwa bom bunuh diri di gereja Surabaya pada 2018 dan Gereja Katedral Makassar beberapa waktu lalu, serta aksi teror di Mabes Polri, ia menduga trennya saat ini adalah keterlibatan perempuan. Ia menyebut, perempuan lebih militan dibandingkan laki-laki.
"Ini memang trennya adalah tren di mana justru dulu tidak ada, artinya wanita itu tidak kita sertakan, apalagi anak-anak, tapi sekarang trennya itu adalah wanita," tutur Haris.