Jumat 02 Apr 2021 07:16 WIB

Si Calus Dilarang Mudik, Efektifkah?

Kucing-kucingan akan menjadi fenomena yang berulang lagi.

Pemerintah melarang kegiatan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Foto: ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
Pemerintah melarang kegiatan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, "Mudik gak kita lebaran ini?"

"Enggak"

"Kenapa?"

"Dilarang mudik"

"Tapi kita bisa pulang kampun!"

Itu hanya obrolan ringan 'Si Calus' dan istrinya dalam kartu infografis Repulika.co.id, terkait libur panjang Idul Fitri 1442 H atau 2021. Meski pemerintah melarang mudik dan pemotongan libur panjang, tapi Si Calus tetap semangat, karena bisa pulang kampung.

Fenomena itu, tampaknya yang bakal terjadi pada masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, yang akan merayakan Idul Fitri bersama sanak familinya di kampung-kampung. Di Indonesia, fenomena pulang kampung saat hari-hari besar Islam ini sudah menjadi tradisi yang sulit dihilangkan.

Tengok, saat sepekan sebelum hari H lebaran. Ratusan ribu bahkan jutaan kendaraan bermotor--baik roda dua maupun lebih--memadati ruas-ruas jalan yang ada. Antrean kemacetan pun mewarnai arus mudik dan lebaran tersebut. Kondisi ini pun (kemacetan, red) semakin parah terjadi bila ada kasus kecelakaan maupun bencana alam.

Namun, bukan hal itu yang ditakutkan oleh pemerintah. Yang menjadi perhatian serius pemerintah saat ini adalah penyebaran virus Covid-19 di tengah maraknya masyarakat mudik/balik Lebaran Idul Fitri 2021. Pasalnya, hingga kini pandemi Covid-19, belum juga menunjukkan tanda-tanda mereda bahkan hilang.

Maka, wajah pemerintah dalam Rapat Tingkat Menteri terkait Libur Idul Fitri 1442 H di Jakarta, Jumat (26/3) memutuskan melarang kegiatan mudik pada Lebaran 2021 mendatang.  Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyebut larangan itu berlaku mulai 6 hingga 17 Mei 2021 bagi seluruh masyarakat, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI-Polri, karyawan BUMN, swasta maupun pekerja mandiri serta masyarakat lainnya.

Tujuan utama pelarangan itu, tak lain adalah untuk menekan tren kasus penularan dan kematian akibat Covid-19 yang meninggi usai beberapa kali libur panjang dalam satu tahun terakhir. Ini juga sejalan dengan kebijakan pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, penguatan protokol kesehatan hingga vaksinasi.

Meski demikian, pemerintah masih memberikan kebijakan menyangkut cuti bersama Idul Fitri tahun ini dengan memberikan libur satu atau dua hari. Hanya saja, pemerintah mengharapkan tidak ada aktivitas mudik maupun balik.

Kebijakan itu pun menjawab atas gonjang ganjingnya sikap pemerintah sebelumnya. Dimana, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan, prinsipnya pemerintah tidak melarang mudik. Saat itu, Budi selaku koordinator nasional angkutan lebaran mengaku akan berkoordinasi dan sinergi dengan Gugus Tugas Covid-19 dengan melakukan pengetatan dan pelacakan terhadap pemudik.

Tak hanya itu, pemerintah pun telah menetapkan tujuh kebijakan penyelenggaraan angkutan Lebaran. Yakni, terus menyosialisasikan protokol kesehatan secara ketat mulai dari tempat keberangkatan, selama perjalanan, sampai di tempat kedatangan.

Menjamin ketersediaan layanan transportasi darat, laut, udara. Memastikan kelaikan sarana dan prasarana transportasi. Meningkatkan ketertiban dan keamanan pada simpul-simpul transportasi. Melaksanakan koordinasi intensif dengan pemangku kepentingan antara lain Korlantas Polri, PUPR, Jasa Marga, pemerintah daerah, hingga operator jasa transportasi dengan membentuk posko-posko bersama.

Melakukan rekayasa lalu lintas untuk menjamin kelancaran dan ketertiban pelaksanaan angkutan Lebaran. Dan terakhir, melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan angkutan lebaran, dimulai dari persiapan sampai dengan pascapelaksanaan.

Hanya saja, dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu, apakah menjadi efektif pelarangan mudik ini? Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa ikatan lahir, batin, dan silaturahim sesama anggota keluarga pada momentum hari besar umat Islam itu, sudah mendarah daging. Artinya, rintangan apa pun yang dihadapi, maka tak menjadi masalah, bahkan bila perlu diabaikan. Termasuk larangan mudik itu.

Karenanya, pemerintah diminta agar tak mengulang persoalan serupa seperti tahun lalu yakni ada pelarangan mudik, tetapi aktivitasnya tetap ada. Kala itu, meskipun ada penyekatan dan barikade yang dilakukan aparat agar tak mudik, tapi ribuan orang tetap lolos dan bisa sampai ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran.

Pemudik dengan segala daya usahanya bisa menembus aneka barikade itu, mulai dari praktek komuflase hingga pemanfaatan jalur-jalur "tikus". Kucing-kucingan pemilik kendaraan pribadi dengan petugas, juga jamak terjadi. Karena itu, agaknya wajar saja jika rencana pelarangan mudik tahun ini layak mendapatkan masukan dan pertanyaan kritis dari pihak terkait.

Dengan kata lain, pelarangan ini akan efektif bila diberlakukan pada seluruh moda transportasi, termasuk kendaraan pribadi dan sepeda motor. Intinya tutup semua akses.

Apalagi, jika melihat paparan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin beberapa waktu lalu disebutkan bahwa setiap kali liburan selalu ada peningkatan kasus antara 30 hingga 50 persen baik dari kasus terkonfirmasi positif maupun kasus aktif Covid-19. Bahkan, dampak dari kenaikan kasus pada masa libur Natal dan Tahun Baru lalu, jumlah kasus aktif Covid-19 sampai saat ini masih terus meningkat.

Berdasarkan data itu, seharusnya, tidak ada keraguan lagi dari pemerintah untuk menyiapkan segalanya dengan tegas. Insya Allah, mumpung masih ada waktu, asalkan pemerintah dan pihak terkait lainnya mendukung serta pelaksanaannya tegas dan konsisten di lapangan, maka peningkatan kasus covid sebagai dampak libur panjang Lebaran, akan bisa lebih ditekan lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement