REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) mendorong revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diskriminatif terhadap perempuan. Komnas HAM mencatat pengaduan kekerasan berbasis siber mengalami kenaikan hingga tiga kali lipat pada 2020.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, dari sejumlah pengaduan, UU ITE sering kali digunakan dalam sejumlah kasus. Kasus-kasus tersebut, yakni seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus kekerasan seksual, dan kasus korban eksploitasi seksual.
Karena itu, Andy menilai, UU ITE merupakan UU yang diskriminatif terhadap perempuan. Dia mengatakan, dalam kasus korban eksploitasi seksual dan pembalasan melalui penyebarluasan materi bermuatan seksual, di mana korban menjadi salah satu subjek, UU ITE dan UU Pornografi paling banyak digunakan. Untuk kasus KDRT maupun kekerasan seksual lainnya semua menggunakan UU ITE.
"Sementara untuk kasus KDRT, ataupun kekerasan seksual lainnya, dimana korban menyampaikan pengalamannya ataupun kekesalannya melalui ruang siber, semua dipukul rata menggunakan UU ITE,” ujar Andy dalam siaran pers Tim Kajian UU ITE, Kamis (18/3).
Selain itu, Komnas Perempuan juga menyorot sejumlah pasal UU ITE yang bersifat sumir. Pasal-pasal sumir itu dinilai tidak memuat kemudahan khusus bagi perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan, melainkan justru membuat perempuan menjadi pihak yang dikriminalkan melalui UU ITE.
“Pertama adalah tentang frasa-frasa di dalam sejumlah pasal dalam UU ITE bersifat sangat sumir. Misalnya pada pasal 27 ayat 1, dengan muatan yang melanggar (kesusilaan), ini sudah bolak-balik dipermasalahkan,” jelas Andy.
Selain pasal 27 ayat 1, Andy juga menyorot sejumlah pasal lainnya. Pasal lain yang ia sorot ialah pasal 27 ayat 3 terkait penghinaan atau pencemaran nama baik dan pasal yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi di pasal 29.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, menegaskan sikap Komnas HAM yang mendukung revisi UU ITE. Itu disebut perlu dilakukan demi melindungi hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Menurut dia, Komnas HAM sedang menyusun standar norma dan pengaturan (SNP) hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Itu ia sebut bisa digunakan sebagai acuan dalam proses revisi UU ITE.
Ketua Tim Kajian UU ITE, Sugeng Purnomo mengatakan, masukan Komnas Perempuan dan Komnas HAM memberikan perspektif berbeda dari hari-hari sebelumnya. “Kemarin kita bertemu dengan akademisi menyampaikan pandangan pandangannya," ujar Sugeng.
Selanjutnya, sesuai dengan agenda, Tim Kajian UU ITE akan memasuki tahap akhir dari kegiatan FGD. "Rencananya tim akan menghadirkan narasumber dari kementerian dan lembaga, dan juga narasumber dari DPR dan partai politik," kata Sugeng.