Selasa 16 Mar 2021 21:30 WIB

Myanmar Semakin tak Kondusif, Darurat Militer Diperluas

PBB meminta junta militer Myanmar berhenti membunuh demonstran.

Para pengunjuk rasa bereaksi selama protes terhadap kudeta militer di Kotapraja Hlaingthaya (Hlaing Tharyar), pinggiran Yangon, Myanmar, Ahad (14/3). Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras yang dilakukan oleh pasukan keamanan semakin intensif terhadap demonstran.
Foto:

Meningkatnya jumlah pengunjuk rasa yang tewas di tangan aparat keamanan Myanmar, mendorong Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres pada Senin (15/3) waktu setempat mengeluarkan pernyataan tegas. Guterres mendesak komunitas internasional untuk bekerja secara kolektif dan bilateral membantu mengakhiri represi rezim militer.

"Pembunuhan pengunjuk rasa, penangkapan sewenang-wenang, dan penyiksaan tahanan yang dilaporkan melanggar hak asasi manusia dan menentang seruan Dewan Keamanan PBB untuk menahan diri, berdialog, dan kembali ke jalur demokrasi Myanmar," ujar Guterres seperti dilansir laman The Irrawaddy, Selasa.

Dia juga mendesak rezim militer untuk mengizinkan utusan khusus PBB mengunjungi Myanmar menenangkan situasi dan menyiapkan panggung untuk dialog. PBB mencatat, sedikitnya 138 pengunjuk rasa damai termasuk wanita dan anak-anak direnggut nyawanya oleh aksi kejam juntaa membubarkan pendemo penentang kudeta.

Amerika Serikat (AS), China dan Inggris juga turut mengutuk kekerasan junta. "Junta telah menanggapi seruan untuk pemulihan demokrasi di Burma dengan peluru," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Jalina Porter kepada wartawan pada Senin (15/3), yang menggunakan nama lain untuk Myanmar

Dia menyebut serangan ke pengunjuk rasa pada Ahad sebagai titik terendah baru situasi di Myanmar. "Amerika Serikat terus meminta semua negara untuk mengambil tindakan konkret untuk menentang kudeta, dan meningkatkan kekerasan," ujarnya menambahkan.

Utusan PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener juga mengutuk pertumpahan darah dalam hari kedua berdarah Ahad. Sementara itu, mantan penguasa kolonial negara itu, Inggris mengatakan, pihaknya terkejut dengan penggunaan kekerasan terhadap orang-orang yang tidak bersalah.

Bentrokan Ahad juga mendapat kecaman keras dari Beijing, yang pada Senin (15/3) mendesak Myanmar untuk dengan tegas menghindari terulangnya insiden semacam itu. Juru bicara kementerian luar negeri Cina Zhao Lijian menggambarkan kekerasan itu sebagai sesuatu yang keji.

"China sangat prihatin tentang dampak terhadap keselamatan institusi dan personel Cina," katanya kepada wartawan di Beijing.

photo
Kudeta militer Myanmar - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement