REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira, Kamran Dikrama, Lintar Satria, Reuters
Kondisi Myanmar semakin tak kondusif menyusul gelombang protes melawan kudeta militer yang hampir berjalan 50 hari. Warga Negara Indonesia (WNI) di kota-kota di Myanmar pun diimbau untuk tetap tenang dan selalu mengikuti imbauan dari pemerintah Indonesia dalam hal ini Kedutaan Besar RI (KBRI) di Yangon.
Duta Besar (Dubes) untuk Myanmar Iza Fadri menuturkan bahwa pemerintah RI sudah menyiapkan penampungan bagi WNI yang khawatir akan situasi yang kian membara di Myanmar. Kekerasan aparat keamanan terhadap pendemo damai terus berlanjut sehingga menimbulkan korban jiwa di antara para pengunjuk rasa.
"Kita siapkan penampungan di sekolah Indonesia di Yangon bagi WNI yang merasa tidak aman," ujar Dubes Iza ketika dihubungi Republika, Selasa (16/3).
Menurut pantauannya, sudah lima WNI yang berada di penampungan sekolah RI di Yangon, sementara tiga lainnya sudah kembali ke rumah masing-masing. Dubes Iza juga mengatakan, bahwa pihak KBRI akan membantu pemulangan mandiri bagi WNI yang menginginkan kembali ke Tanah Air.
"Kita juga bantu repatriasi mandiri bagi yang ingin pulang," tutur dia.
Sudah sekitar 50 WNI kembali ke Tanah Air menggunakan penerbangan khusus. "Bagi WNI yang tidak memiliki keperluan esensial di Myanmar diimbau agar mempertimbangkan untuk pulang ke Indonesia melalui penerbangan khusus yang masih tersedia yaitu Singapore Airlines dan Myanmar Airlines," demikian keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri RI.
Kendati demikian, dengan mempertimbangkan situasi terakhir yang mana diberlakukannya darurat militer di sejumlah wilayah di Myanmar, pemerintah RI masih memandang bahwa belum mendesak dilakukan evakuasi seluruh WNI di Myanmar. "Kondisi WNI saat ini relatif aman," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Teuku Faizasyah kepada Republika, Selasa.
Pemerintah militer Myanmar memang memperluas darurat militer di seluruh negeri. Langkah ini diterapkan satu hari setelah hari paling mematikan sejak kudeta 1 Februari lalu.
In Picture: Potret Kekerasan Polisi Terhadap Massa Anti-Kudeta Myanmar
Pada Selasa (16/3) BBC melaporkan, awalnya militer mendeklarasikan darurat militer di dua distrik di Yangon, kota terbesar di Myanmar pada Ahad (14/3). Setelah pabrik-pabrik China diserang, darurat militer diberlakukan di sejumlah wilayah lain di Yangon dan Mandalay.
Pengunjuk rasa yakin China mendukung militer Myanmar tapi belum diketahui siapa di balik serangan pabrik-pabrik China akhir pekan lalu. Sebagian besar korban jiwa dilaporkan di Yangon.
Saluran TV pemerintah MRTV dan Myawaddy mengumumkan darurat militer di kota-kota Aungmyay Thazan, Chan Aye Thazan, Maha Aung Myay, Pyi Gyi Tagon, dan Chan Mya Thazi di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar. Darurat militer juga diumumkan di kota-kota Dagon Utara, Okalapa Utara, Dagon Selatan, dan Dagon Seik Kan Yangon.
Kelompok masyarakat sipil pengawas tahanan politik di Myanmar menyampaikan sedikitnya 183 orang tewas sejak kudeta militer 1 Februari lalu. Dari jumlah itu, 20 di antaranya tewas pada Senin (15/3).
“Korban tewas meningkat secara drastis,” ujar Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) dalam laporannya pada Selasa (16/3).
AAPP juga mengataka,n sampai dengan Senin, total 2.175 orang telah ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman sehubungan dengan kudeta militer. AAPP mengatakan, sebagian besar warga tewas pada Senin berasal dari para demonstran anti-kudeta. Tapi, AAPP mencatat beberapa warga sipil ikut tewas padahal mereka tidak ikut dalam demonstrasi.
“AAPP telah mendokumentasikan pembunuhan terhadap orang-orang biasa yang bahkan tidak berpartisipasi dalam protes,” kata AAPP.
Junta militer, lapor AAPP, juga telah mematikan koneksi internet seluler di seluruh negeri sejak tadi malam dan memutus aliran listrik di beberapa kota. “Pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan bisa menjadi lebih buruk di saat kegelapan malam tanpa komunikasi online,” kata AAPP.