REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Biaya logistik bagi suatu perusahaan merupakan faktor penentu yang memengaruhi harga jual dari suatu produk, sedangkan bagi suatu negara akan memengaruhi pasar ekspor serta impor. Biaya logistik di Indonesia masih sangat mahal jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, seperti Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Jepang dan Singapura memiliki persentase yang sama terhadap PDB yaitu sebesar 8%, diikuti dengan Malaysia 13%, Thailand 15%, Vietnam 20%, dan yang tertinggi yaitu Indonesia sebesar 24%.
Kontribusi biaya logistik yang paling besar adalah pada biaya pelabuhan sebesar 50%, biaya dooring sebesar 31%, serta biaya freight dari pelabuhan ke pelabuhan lainnya sebesar 19%.
Menurut pandangan Roland Permana selaku pendiri dan CEO Zonasea, penyebab biaya logistik meninggi salah satunya karena cargo imbalance. Pulau Jawa masih menjadi pusat dari pertumbuhan ekonomi, sehingga mengakibatkan inefisiensi pada transportasi laut karena kekurangan jumlah muatan balik dari wilayah atau daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang masih rendah terutama pada wilayah timur Indonesia.
Dalam mewujudkan pemerataan pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah, sekaligus mengurangi disparitas harga, pemerintah melalui program Tol Laut dengan konsep Ship Promote the Trade, menyiapkan kapal dan menciptakan jalur pelayaran ke daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan (3TP) demi menjaga ketersediaan barang dan menjamin kelangsungan pelayanan angkutan muatan serta penumpang.
“Trayek Tol Laut adalah trayek untuk membangun ekonomi dengan subsidi, tetapi tidak bisa dilakukan subsidi terus-menerus. Dibutuhkan kerjasama seluruh stakeholders untuk mempromosikan dan menghidupkan industri di wilayah masing-masing, termasuk industri pariwisata, sehingga arus barang dapat meningkat.” ujar Roland pada acara Webinar yang diselenggarakan oleh Logistic Today & Smart Logistics, Sabtu (13/3).
Selain itu, pelayaran nasional hingga saat ini masih dihadapkan dengan persoalan klasik terkait peningkatan daya saing. Dia mengatakan, salah satunya disebabkan lantaran pelayaran nasional yang belum mendapatkan perlakuan setara di bidang fiskal atau pun moneter, seperti kebijakan negara lain terhadap industri pelayaran mereka.
Roland mengatakan, di antara beban pajak itu seperti pengenaan PPN 10% atas pembelian BBM dan pelumas yang sebenarnya tidak lazim dalam praktek internasional. Roland Permana menuturkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi oleh pelayaran nasional, misalnya di sektor pembiayaan dengan pengadaan kapal yang masih dibebani dengan bunga bank yang tinggi serta tenor yang pendek.
Ketiga, sistem logistik Indonesia yang masih kompleks dan rumit. Masih menurut dia, koordinasi antara pemerintah dengan para pelaku usaha seperti importir, eksportir, dan pelaku logistik lainnya belum terjalin dengan baik
Dengan adanya pengembangan National Logistics Ecosystem (NLE) yang merupakan platform yang menyelaraskan sistem informasi antara instansi pemerintah dengan swasta untuk simplikasi dan sinkronisasi arus informasi sejak kedatangan kapal hingga barang tiba di gudang, diharapkan dapat meingkatkan efisiensi logistik nasional.
Adapun tujuan pembentukan NLE ini adalah dari pemerintah, yakni menurunkan biaya logistik yang disebut masih berkutat di 23% menjadi 17%.
“Kami yakin dengan adanya program Tol Laut, NLE, dan kerjasama antara pemerintah dan swasta yang sinergi, Indonesia dapat bersaing dengan negara lainnya di ASEAN yang bahkan sudah mencapai biaya logistik single digit.” ujarnya.