REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Wali Kota Malang, Sutiaji, menegaskan, penghentian aksi unjuk rasa dalam Perayaan International Women's Day pada Senin (8/3) bukan diskriminatif. Menyuarakan aspirasi diperbolehkan namun harus tetap memperhatikan situasi.
Sutiaji mengatakan, Kota Malang saat ini masih melangsungkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro sebagai upaya menurunkan angka kasus Covid-19. Kota Malang tidak ingin mengambil risiko setiap potensi yang dapat memunculkan klaster baru. "Sekali lagi penghentian unjuk rasa mempertimbangkan hal itu," ucap Sutiaji dalam pesan resmi yang diterima Republika.co.id, Jumat (12/3).
Sutaji mengatakan, keselamatan dan keamanan rakyat menjadi daulat tertinggi. Ini menjadi pedoman gerak dari pemerintah kota (pemkot), TNI dan Polri. Hal ini terutama dalam upaya melindungi warga Kota Malang dari bahaya Covid-19.
Selain itu, Pemkot Malang meyakini semua warga Malang bertekad untuk segera terbebas dari Covid-19. Atas dasar itu, segala bentuk kegiatan yang berdampak pada rawannya penyebaran Covid-19 termasuk aksi unjuk rasa harus dihentikan. "Jadi ndak benar kalau tindakan itu penghentian unjuk rasa diskriminasi," katanya.
Pada operasi penegakan, Pemkot Malang mengeklaim sering menghentikan kegiatan sosial. Bahkan, gelar hajatan nikah pernah dibubarkan oleh Pemkot Malang beserta Forkopimda. Dengan kata lain, Sutiaji menegaskan, Kota Malang tidak pernah tebang pilih dalam bertindak.
"Dan juga bisa dilihat sebelum pandemi, Kota Malang selalu memberi ruang bagi siapa pun untuk menyampaikan aspirasi," kata pria yang juga Ketua Satgas Covid-19 Kota Malang ini.
Sebelumnya, Aliansi Gerakan Perempuan Bersama Rakyat (GEMPUR) mengadakan agenda aksi dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional di Kota Malang, Senin (8/3). Kegiatan ini terpaksa dihentikan lantaran terjadi kerusuhan yang menyebabkan satu polisi terluka dan mobil dinas kepolisian rusak. Satu mahasiswa asal Papua diamankan karena diduga telah merusak kendaraan tersebut.