Kamis 11 Mar 2021 18:14 WIB

Penyelesaian Dualisme Demokrat Menurut Prediksi Refly Harun

Menurut Refly, posisi Kemenkumham seharusnya hanya menjalankan fungsi administratif.

Refly Harun
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Refly Harun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, dirinya salah satu pihak yang tidak pernah mendorong Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bisa melakukan penilaian substantif terhadap konflik partai politik atau kongres luar biasa (KLB) yang terjadi. Biasanya, Kemenkumham memberikan dua mekanisme, yakni melalui internal partai politik atau jalur pengadilan negeri (PN).

"Mungkin saat ini kita pro dan mengatakan bahwa pendaftaran itu harus ditolak. Tapi jika dibalik, misal pada kasus lain KLB tersebut berjalan demokratis dan kemudian tiba-tiba Menteri Hukum dan HAM memiliki subjektivitas untuk memilih yang mana," kata Refly pada diskusi daring bertajuk menyoal KLB Partai Demokrat yang beraroma kudeta yang dipantau di Jakarta, Kamis (11/3).

Baca Juga

Secara pribadi, ia berpandangan bahwa posisi Kemenkumham seharusnya hanya menjalankan fungsi administratif. Artinya, sepanjang berkas yang diserahkan atau didaftarkan telah memenuhi syarat, maka bisa diterima.

Tetapi, dalam konteks KLB Partai Demokrat yang terjadi pendaftaran tidak boleh diterima, karena masih terjadi klaim dari pihak lain. "Jadi ada dualisme kepengurusan. Kepengurusan AHY pasti akan mengklaim KLB Demokrat di Deli Serdang tidak sah," ujar Refly.

Berdasarkan pengalaman hukum selama ini, Kemenkumham akan mengatakan tidak bisa menerima pendaftaran tersebut sebagai pengurus baru melalui KLB. Sebab, ada pihak lain yang juga mengklaim.

Baca juga : Demokrat AHY: Perubahan Mukadimah AD/ART Partai Sah

Pada akhirnya, Kemenkumham memberikan dua mekanisme, yakni melalui internal partai politik atau jalur pengadilan negeri (PN). Jika menggunakan langkah internal partai, tentunya merujuk pada Undang-Undang Partai Politik dan seharusnya kasus tersebut diselesaikan oleh Mahkamah Partai.

Namun, jalan tersebut kemungkinan besar akan ditolak oleh salah satu pihak. "Walaupun kita tahu Undang-Undang Partai Politik yang memperkenalkan Mahkamah Partai sengaja diadakan pascaterjadinya konflik partai-partai politik," katanya pula.

Namun, yang menjadi masalah ialah Mahkamah Partai sering tidak efektif karena dipilih oleh pengurus sebelumnya tanpa melalui pemilihan dalam kongres. Oleh sebab itu, seharusnya ke depan Mahkamah Partai dipilih dalam kongres dan terdiri dari pihak internal maupun eksternal serta bersifat independen.

Bila Mahkamah Partai tidak bisa menyelesaikan kisruh yang terjadi, maka langkah selanjutnya yakni jalur meja hijau atau lanjut ke pengadilan. Dengan demikian gugat-menggugat sudah pasti terjadi antara dua kubu.

Jika merujuk pada undang-undang seharusnya konflik semacam ini diselesaikan di PN. "Di PN akan selesai selama 60 hari, jika banding 30 hari dan kalau kasasi juga 30 hari," ujarnya lagi.

Kemudian dalam jangka waktu empat bulan kasus tersebut seharusnya sudah selesai dan tidak ada lagi konflik yang terjadi. Tetapi, jika merujuk ke belakang konflik yang terjadi di Partai Golkar dan PPP memakan waktu yang cukup lama.

Baca juga : Dukungan Semakin Banyak, Demokrat: Mari Rapatkan Barisan

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement