Senin 01 Mar 2021 04:59 WIB
Anali

Artidjo Al-Kotsar: Pancasila Jangan Jadi Alat Pemukul

Pancasila Jangan Jadi Alat Pemukul

Presiden Jokowi takziah ke Masjid Ulil Albab UII, Senin (1/3), menyalati almarhum Artidjo Alkostar.   Foto: BPMI
Foto:

Artidjo Memanggil

PRO-KONTRA asas tunggal Pancasila memanaskan suhu politik Indonesia. Penolakan juga datang dari kaum Sukarnois. Mereka berpegang kepada amanat Presiden Sukarno di depan Gerakan Pendukung Panca Sila (GPPS), pada pertengahan 1954. Dalam pidato di Istana, Bung Karno tegas berkata, jangan  ada partai politik yang mengaku berasas Pancasila. Biarkan Pancasila menjadi dasar negara.

Di tengah perbincangan hangat itu, Pemerintah mengajukan lima RUU: Pemilihan Umum; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; Partai Politik dan Golongan Karya; Referendum, dan Organisasi Kemasyarakatan.

Sekitar bulan Maret 1985, Mas Ar yang mengamati perkembangan situasi mengundang sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mendiskusikan lima RUU yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.

Demikianlah, selama berhari-hari, setiap malam, para aktivis berkumpul di kantor LBH Yogyakarta. Mereka berdebat untuk merumuskan sikap yang akan diajukan ke parlemen. Perdebatan sering kali berlangsung hingga larut malam. Dan, Mas Artidjo dengan telaten memfasilitasi diskusi para aktivis itu. Senyum tidak pernah hilang dari bibirnya.

Seruan Enam Pasal

SETELAH berdiskusi berhari-hari, lahirlah dokumen yang diberi nama "Seruan Enam Pasal". Dokumen ditandangani oleh Ny. H. Lamya Moeljanto (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga),  H. Imam Suhadi (Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Masyarakat), Said Tuhuleley (Lingkaran Studi Pendidikan Yogyakarta), Artidjo Al-Kostar (LBH Yogyakarta), Muchtar Effendi Harahap (Lembaga Penelitian Masyarakat), Lasdin Welas (Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Penyuluhan Hukum), M. Sholeh Amin (Lembaga Studi Nusantara), M. Busyro Muqoddas (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH UII), dan Lukman Hakiem (Yayasan Pengkajian dan Bantuan Pendidikan).

Para penandatangan menyerukan agar esensi Allah Yang Maha Kuasa dalam Pembukaan UUD 1945 diyakini oleh kita semua, termasuk oleh penyelenggara negara. "Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara harus ditata dalam semangat Ilahiyah."

Kemerdekaan merupakan esensi pertama dan terutama dari harkat kemanusiaan yang tiada sesuatu pun lebih berharga daripadanya. 

Kehidupan berbangsa dan bernegara agar sungguh-sungguh ditata dalan semangat bahwa negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat berdasarkan kerakyatan dan permusyawaratan.

Segala peraturan perundang-undangan agar selalu diukur sungguh-sungguh dengan bunyi, huruf, dan semangat UUD 1945.

MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya agar dikembalikan harkatnya seperti diminta oleh UUD 1945.

Kepada rakyat agar dibuka peluang yang sebesar-besarnya bagi partisipasi yang cerdas dan dewasa tanpa dibayangi rasa takut. "Sesungguhnya negara yang berdasarkan Pancasila ini adalah milik seluruh rakyat, dan dibentuk untuk mempertahankan kemerdekaan semesta bagi umat manusia, menciptakan keadilan dan persaudaraan."

Para penandatangan "Seruan Enam Pasal" mengingatkan, Pancasila sebagai dasar negara jangan dijadikan alat untuk memukul mereka yang mempunyai pandangan berbeda di dalam strategi maupun pemecahan problematika pembangunan. "Pancasila harus dijadikan pedoman dalam setiap usaha pembaruan pembangunan, termasuk pembaruan di bidang politik."

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement