Senin 01 Mar 2021 00:38 WIB

Ragam Suara Wakil Rakyat Soal SKB 3 Menteri

Ada wakil rakyat yang meminta revisi ada juga yang setuju dengan SKB 3 Menteri.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Andri Saubani
Sejumlah pelajar mencuci tangannya sebelum masuk ke sekolah dengan pengawasan dari petugas kepolisian dan Satpol-PP di SMPN 1 Kota Padangpanjang, Sumatera Barat. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Sejumlah pelajar mencuci tangannya sebelum masuk ke sekolah dengan pengawasan dari petugas kepolisian dan Satpol-PP di SMPN 1 Kota Padangpanjang, Sumatera Barat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri terkait seragam sekolah dikritisi oleh sejumlah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ada yang minta direvisi dan ada juga yang setuju dengan SKB tersebut karena sudah jelas untuk dilaksanakan.

Wakil ketua DPRD Sumatera Barat (Sumbar) Irsyad Syafar miengakui, DPR DPRD Sumbar belum menyampaikan sikap resmi terkait SKB 3 Menteri tersebut. Sebab, hal itu butuh kesepakatan bersama. Sementara, DPRD adalah lembaga politik yang beragam partai dan pendapat.

Baca Juga

“Kalau dari saya sih, ingin pemerintah hapuskan peraturan yang melarang guru dan pihak sekolah mewajibkan, mensyaratkan dan menghimbau. Cukup yang dilarang itu mewajibkan kepada yang berbeda agama. Karena inti permasalahannya di sana,” katanya saat dihubungi Republika, Jumat (26/2).

Kemudian, ia melanjutkan pemerintah juga harus mencabut ancaman sanksi terkait bantuan operasional sekolah (BOS). Karena, menurutnya, BOS adalah hak sekolah dan siswa bukan hak pemerintah daerah (pemda).

“(Sanksi) Bukan kepada sekolah. Sebab, sekolah bukan pelaku. Orang peroranglah yang pelaku. Untuk hal ini, butuh kesepakatan bersama sedangkan DPRD banyak partai dan pendapat,” kata dia.

Adapun, Ketua DPD PDIP Sumbar Alex Indra Lukman mengatakan, SKB 3 Menteri berlaku nasional dengan Kebinekaan Nusantara maka perlu kebijaksanaan pemerintah daerah dalam menerapkan SKB tersebut sesuai kearifan daerah masing-masing.

“Sebagai negara hukum maka kami hormati upaya dari para pihak yang menggugat SKB tersebut sesuai mekanisme yang berlaku,” kata dia.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Demokrat Dede Yusuf sekaligus Anggota Komisi X DPR RI menyatakan, banyak penolakan atas SKB 3 Menteri. Ia pun menyarankan evaluasi atas SKB 3 Menteri.

“Tidak ada masalah meninjau ulang sebuah kebijakan. Tapi evaluasi tersebut juga harus melihat bagaimana dengan provinsi lain. Kalau semua tidak ada masalah, berarti cukup perlu dilakukan komunikasi dengan provinsi yang menolak tersebut,” kata dia.

Begitu juga dengan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih yang menilai, jika pemerintah selalu menekan dan tidak mau kompromi dengan daerah, maka akan terpelihara ketegangan antara pusat dan daerah. Ini sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.

“Seragam itu masalah ringan mestinya jangan terlalu dibesar besarkan. Biarkan berlaku UU 23/2014 tentang Pemda yang sudah mengatur kewenangan secara proporsional. Dan tentang seragam toh masih berlaku Permendikbud 45/2014. Tidak usah ngotot dengan SKB 3 Menteri itu,” kata dia.

Abdul menambahkan, pemerintah harus mendengar semua aspirasi masyarakat dan mencari jalan keluarnya seperti apa. ”Paling tidak kami dengarkan aspirasi mereka dan cari jalan keluarnya seperti apa,” kata dia.

Lain halnya dengan, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, Andreas Hugo Pareira yang mengatakan, SKB 3 Menteri sebenarnya sudah cukup jelas. Pertama, berlaku untuk sekolah negeri.

Kedua, tidak ada larangan untuk menggunakan seragam sekolah yang beratribut keagamaan bagi siswa/i, tenaga Pendidik maupun tenaga nonkependidikan di lingkungan sekolah. Ketiga, larangan bagi pihak sekolah untuk mewajibkan siswa/i, tenaga kependidikan dan tenaga nonkependidikan untuk menggunakan seragam dengan atribut keagamaan.

“Sehingga jelas yang namanya pemakaian seragam sekolah dengan atribut keagamaan adalah otoritas pribadi karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar, yang terterah dalam Permendikbud nomor 45/2014. Apanya yang harus dievaluasi karena ketentuan di SKB itu sudah jelas untuk dilaksanakan,” kata dia.

Kebijakan terkait seragam dan atribut tersebut diterbitkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Choulil Qoumas. Dalam sebuah pernyataan dari Yaqut, disebutkan bahwa lahirnya keputusan bersama ini merupakan upaya untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan di masyarakat Nusantara.

Menurut Yaqut, SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut di sekolah negeri bukan memaksakan agar sama, namun masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, tak hanya simbolik. Terdapat enam poin dalam kebijakan ini, yaitu:

  1. Keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda).
  2. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara : Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
  3. Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
  4. Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
  5. Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar.
  6. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.

"Menag memang ikut menandatangani SKB tersebut. Namun, kewenangannya juga terbatas," kata Yaqut dalam keterangan tertulis, Kamis (25/2).

Yaqut menuturkan, kewenangan Kemenag diatur dalam ketentuan kelima huruf e yang mengatur tentang sanksi. Ada dua ketentuan, yaitu (pertama) melakukan pendampingan dan penguatan pemahaman keagamaan dan praktik beragama yang moderat ke pemerintah daerah dan atau sekolah yang bersangkutan; dan (kedua) dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.

"Jadi kewenangannya sebatas itu," tegas Yaqut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement