Senin 22 Feb 2021 18:27 WIB

Mahfud Bentuk Tim Kajian, Revisi UU ITE Dinilai Bisa Kandas

Pemerintah hari ini membentuk tim mengkaji pasal karet dan perlukah UU ITE direvisi.

Menko Polhukam Mahfud MD.
Foto:

Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Rifqi Rachman, melihat adanya kemungkinan pemerintah tidak akan merevisi UU ITE. Hal tersebut ia lihat dari pembentukan Tim Kajian UU ITE yang terbagi lagi menjadi dua sub tim.

"Keberadaan dua sub tim ini memperjelas arah yang diambil pemerintah, yaitu mendahulukan perbaikan pada penerapan pasal-pasal bermasalah di UU ITE sebelum mengajukan revisi," ujar Rifqi lewat pesan singkat, Senin (22/2).

Menurut dia, itu menunjukkan adanya kemungkinan UU ITE tidak akan diajukan oleh pemerintah ke DPR untuk direvisi. Padahal, dorongan untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 itu sudah lama disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat.

"Dorongan tersebut telah lama disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat yang seringkali telah dilengkapi oleh data korban pasal-pasal karet regulasi ini,” kata Rifqi.

Atas dasar itu dia mengatakan, ruang aspirasi yang disediakan oleh pemerintah dalam mengkaji pasal-pasal bermasalah UU ITE lewat tim itu harus dijalankan secara penuh. Akademisi, tenaga ahli, korban dan pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media harus diajak berpartisipasi dan didengar dalam membahas persoalan UU ITE.

“Jangan sampai keikutsertaan berbagai elemen masyarakat ini hanya menjadi penanda keterbukaan pemerintah, padahal keputusan akhir yang diambil justru mengesampingkan masukan-masukan yang ada,” kata dia.

Selain itu, Rifqi menjelaskan, hal yang tidak kalah penting untuk diterapkan adalah keterbukaan akses informasi pada setiap kegiatan Tim Kajian UU ITE. Jika rencana kerja Tim Kajian UU ITE selama tiga bulan ke depan disediakan, maka pengawasan secara berkelanjutan dari masyarakat dapat dilakukan.

"Ketersediaan akses ini sangat krusial, demi menjaga transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban Tim Kajian UU ITE kepada publik," terang dia.

Diwawancarai secara terpisah, Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR pembahasan RUU ITE pada 2008, M Yasin Kara, menyatakan, bahwa Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik sebaiknya dihapus dari UU ITE. Mengingat, masih adanya pihak yang menggunakan pasal tersebut untuk membungkam pendapat seseorang.

"Yang terbaik dihapuskan," ujar Yasin kepada Republika, Senin (22/2).

Ia menceritakan, pembahasan RUU ITE dimulai pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pansus saat itu membahasnya bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh dan diselesaikan pada era Sofyan Djalil.

Jika tak dihapus dan tetap berada dalam UU ITE, ia mengusulkan agar Pasal 27 ayat 3 merujuk pada undang-undang organiknya. Agar kemudian pasal tersebut tak memerangkap lawan politik yang berbeda pandangan.

"Maka UU merujuk pada UU organiknya masing-masing. Kemudian, agar tidak dijadikan cara atau alat memerangkap lawan baik politik maupun sentimen sosial, maka ancamannya hukumannya perlu lebih rendah dari lima tahun, mungkin cukup tiga atau empat tahun," ujar Yasin.

Usulan tersebut disampaikannya, karena ia tetap melihat bahwa pasal terkait pencemaran nama baik, pornografi, dan SARA tetap memiliki manfaat. Khususnya dalam membangun karakter masyarakat dalam berpendapat.

"Agar kesantunan berkomunikasi terutama di wilayah publik penting dijaga, mengingat spektrum sebaran informasi dengan sistem elektronik yang sangat luas," ujar Yasin.

Dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pada akhirnya, pihaknya dan pemerintah saat itu tetap menyepakati masuknya pasal tersebut. Namun ia menegaskan, UU ITE bukanlah undang-undang organik terkait pencemaran nama baik, pornografi, dan SARA.

Namun, fokus dalam memberikan payung hukum terhadap transaksi elektronik. Mengingat penipuan terkait transaksi elektronik saat itu belum memiliki regulasi yang memadai, di tengah perkembangannya yang semakin pesat.

"Sehingga penerapan UU ITE atas kasus-kasus tersebut adalah setelah pokok perkara terbukti, di mana landasannya adalah UU Pidana dan UU yang spesifik mengatur tentang pencemaran nama baik, pornografi, dan Sara," ujar Yasin.

photo
Pelanggaran UU ITE - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement