Kamis 18 Feb 2021 19:24 WIB

Nelayan Natuna Tolak Legalisasi Cantrang

Penggunaan cantrang dinilai dapat merusak perairan dan menimbulkan kerugian.

Nelayan mencari ikan di antara tumpukan batuan granit di perairan kawasan situs geologi Alif Stone Park di Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (12/11/2020).
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
Nelayan mencari ikan di antara tumpukan batuan granit di perairan kawasan situs geologi Alif Stone Park di Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (12/11/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, BATAM  -- Aliansi Nelayan Natuna (Anna) menolak rencana pemerintah untuk melegalkan penggunaan alat tangkap ikan cantrang di Wilayah Pengelolaan Ikan Negara RI (WPP NRI) 711. Penggunaan cantrang dinilai dapat merusak perairan dan menimbulkan kerugian bagi warga setempat.

"Anna tetap menolak legalisasi cantrang dan berbagai jenis trawl/pukat ikan beserta hasil modifikasi dan perubahan namanya, di WPP711 terutama di Laut Natuna dan Laut Natuna Utara yang merupakan kantong-kantong wilayah penangkapan ikan nelayan tradisional Natuna," kata Ketua Anna, Hendri dalam diskusi virtual, Kamis.

Baca Juga

Penolakan itu juga disampaikan dalam surat terbuka kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Pelaksanaan legalisasi cantrang di WPP 711, sebagaimana Permen-KP Nomor 59 tahun 2020, dikhawatirkan dapat memunculkan berbagai konflik di perairan itu. Apalagi, rencananya kapal dari Pulau Jawa sengaja didatangkan ke Natuna menggunakan alat tangkap itu.

"Nelayan kecil dikorbankan karena hanya bisa melaut sampai 12 mil saja. 'Fishing Ground' tradisional nelayan Natuna selama ini akan dikuasai oleh kapal-kapal cantrang," kata dia.

Selain itu, menurut dia, penggunaan cantrang dapat merusak perairan Natuna yang dominan terumbu karang. "Potensi konflik sosial perebutan fishing ground pada jalur penangkapan sangat mungkin terjadi, karena alat tangkap nelayan Natuna, Anambas dan Kijang berupa pancing ulur, pancing tonda dan bubu laut dalam hanya epektif dioperasikan pada wilayah tersebut," kata dia.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan semestinya Menteri Kelautan dan Perikanan merevisi secara terbatas pelegalisasian cantrang dalam Permen 59/2020 dan menyelaraskannya dengan Permen 2/2015 dan Permen 71/2016 demi kepastian hukum dan kepastian usaha perikanan.

Ia mengatakan, Menteri Kelautan dan Perikanan mesti memperbarui status stok ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, serta mengevaluasi pelaksanaan Rencana Pengelolaan Perikanan di WPP-NRI 711 dan 712 sebelum mengambil keputusan pengelolaan perikanan.

"Inilah langkah strategis yang perlu dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan ketimbang memaksakan kepentingan politik jangka pendek yang beresiko merusak keberlangsungan sumber daya ikan dan menghadirkan kemiskinan baru bagi masyarakat nelayan tradisional di WPP-NRI 711 dan 712," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement